Keteladanan al-Imam at-Tirmidzi dalam Menuntut Ilmu

بسم الله الرحمن الرحم


 Para pembaca, semangat tinggi dan pantang menyerah dalam menuntut ilmu merupakan sikap terpuji yang telah dicontohkan dan diwariskan oleh para ulama pada setiap generasi. Simaklah penuturan Ibnul Jauzi rahimahullah, “Para pendahulu dari kalangan ulama memiliki semangat yang tinggi (dalam menuntut ilmu agama). Bukti akan hal ini ditunjukkan dalam karya ilmiah mereka yang merupakan inti sari dari perjalanan hidup mereka.” (Lihat Shaidul Khathir)
        Dalam edisi ini kita akan mengenal figur al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah yang memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu, hingga mengantarkannya menjadi salah satu tokoh ulama pada zamannya.

Nama dan Kelahiran Beliau
Beliau adalah Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin adh-Dhahhak as -Sulami adh-Dharir al-Bughi at-Tirmidzi rahimahullah.
As-Sulami adalah penyandaran kepada Bani Sulaim, sebuah kabilah dari Ghailan. Beliau rahimahullahmengalami kebutaan pada kedua matanya, oleh karena itulah digelari dengan adh-Dharir. Terjadi silang pendapat di kalangan para ulama tentang sejak kapan beliau rahimahullah mengalami kebutaan. Pendapat yang benar adalah bahwa beliau rahimahullah mengalami kebutaan pada saat usia senja.
Beliau rahimahullah dilahirkan pada bulan Dzulhijjah tahun 209 Hijriyah (824 Masehi) di sebuah negeri yang terletak di belakang sungai Jaihun (kini sungai Amu Darya) – dikenal sebagai tempat kelahiran pakar ulama hadits semisal al-Imam al-Bukhari rahimahullah dan al-Imam Muslim rahimahullah – di sebuah kota yang bernama Tirmidz tepatnya di sebuah desa yang bernama Bughi. Jarak antara kampung Bughi dengan kota Tirmidz sekitar 6 farsakh. Beliau rahimahullah adalah seorang hafizh (orang yang menghafal sekurang-kurangnya 100.000 hadits), ahli fikih, seorang yang ‘alim (memiliki ilmu agama yang luas), cerdas, seorang imam (panutan umat), memiliki sifat zuhud dan wara’.

Perjalanan Menuntut Ilmu
Sejak kecil, beliau rahimahullah sudah gemar mempelajari ilmu agama dan mencari hadits. Untuk kebutuhan tersebut ia pun mengembara ke berbagai negeri seperti Khurasan, Irak (Bashrah, Kufah, Baghdad), Hijaz (Makkah dan Madinah), Wasith dan ar-Ray. Beliau rahimahullah memulai perjalanan menuntut ilmu pada tahun 234 Hijriah.
Dalam lawatannya ke berbagai negeri, beliau rahimahullah banyak mengunjungi para ulama hadits untuk mendengar, menghafal dan mencatat hadits, baik ketika dalam perjalanan atau tiba di suatu tempat.
Setelah menempuh pengembaraan yang panjang, akhirnya beliau rahimahullah kembali ke kota Tirmidz dan wafat di sana.
Beliau rahimahullah memiliki beberapa keistimewaan, di antaranya adalah:
1. Semangat tinggi dalam menuntut ilmu, hingga tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menuntut ilmu walau dalam kondisi apapun.
2. Memiliki kekuatan hafalan.
Diriwayatkan oleh al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah di dalam Siyaru A’lamin Nubala` dan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Tahdzibut Tahzib sebuah kisah dari Ahmad bin ‘Abdillah bin Abi Dawud bahwasanya ia berkata, “Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi rahimahullah berkata, ‘Suatu ketika saya sedang dalam perjalanan menuju Makkah. Dan ketika itu saya telah menulis dua jilid kitab berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang syaikh (guru). (secara kebetulan) Syaikh tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya pun bertanya perihal syaikh tersebut. Mereka menjawab bahwa dia lah orang yang saya maksud. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa dua jilid kitab itu ada padaku. Ternyata yang saya bawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengannya, saya memohon untuk mendengar hadits darinya. Dan ia pun mengabulkan permohonan tersebut. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan apa pun. Demi melihat hal ini, ia berkata, ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ Lalu aku pun menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ Suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi, ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar ia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang gharib (asing), lalu berkata, ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar, ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.” Al-Imam al-Bukhari rahimahullahsendiri pernah mencatat hadits dari beliau.
Di antara guru-guru beliau adalah al-Imam al-Bukhari, al-Imam Muslim, al-Imam Abu Dawud, Qutaibah bin Said, Ishaq bin Rahuyah, Abu Kuraib dll. Kemudian di antara murid-murid beliau adalah Abu Bakar Ahmad bin Ismail as-Samarqandi, Abu Hamid Ahmad bin Abdillah al-Marwazi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, al-Husain bin Yusuf al-Farabri dll.

Sumbangsih dalam Penelitian dan Pengembangan Ilmu Hadits
1. Dalam ilmu mushthalah hadits
Sebelum munculnya al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah, klasifikasi hadits hanya terbagi menjadi hadits shahih dan hadits dha’if. Hadits shahih adalah hadits yang para perawinya memiliki hafalan yang kuat. Sementara hadits dha’if adalah hadits yang lemah disebabkan lemahnya hafalan perawinya atau sebab yang lain. Dari sini, al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah memiliki pemikiran yang jenius. Ketika suatu hadits diriwayatkan oleh perawi yang standar hafalannya di bawah perawi hadits shahih, namun masih unggul dibanding perawi hadits dha’if sehingga hafalannya dapat disebut `tidak kuat sekali, namun lemah pun tidak,` maka beliau mengkategorikan periwayatan seperti ini kepada tingkat hasan. Oleh karenanya, beliaurahimahullah adalah orang pertama yang memasyhurkan pembagian hadits menjadi shahih, hasan, dan dha’if.
2. Menyatukan paradigma hadits dan fiqih
Kalau kita lihat, kitab Jami’ at-Tirmidzi selalu menampilkan perbandingan pendapat antar madzhab. Perbandingan ini selalu dibarengkan tatkala beliau menuliskan sebuah hadits. Bahkan, karena banyaknya memuat perbandingan fiqh, kitab Jami’ At-Tirmidzi ini nyaris terkesan sebagai kitab fiqh, bukan kitab hadits. Hal inilah yang menjadi keistimewaan sekaligus pembeda antara kitab Jami’ at-Tirmidzi dengan kitab-kitab hadits yang lain. Namun demikian, bukan berarti al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah merupakan figur sektarian yaitu berpegang pada salah satu madzhab tertentu. Beliau merupakan tokoh yang hanya mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seorang mujtahid yang tidak bertaklid (mengikut tanpa dalil) kepada siapapun. Ketidakberpihakan al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah pada salah satu madzhab fiqh ini dapat difahami dengan tidak adanya unsur pengunggulan pada salah satu madzhab tertentu di dalam kitabnya.

Wafat Beliau
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan mengarang, pada usia senjanya beliau rahimahullah mengalami kebutaan. Beberapa tahun lamanya beliau rahimahullah hidup sebagai tuna netra. Dalam keadaan seperti ini beliau rahimahullah meninggal dunia. Beliau rahimahullahwafat di kota Tirmidz pada malam Senin tanggal 13 Rajab tahun 279 H (8 Oktober 892) dalam usia 70 tahun. Semoga Allah subhaanahu wa ta’aalaa mencurahkan rahmat-Nya kepada beliau dan memasukkannya ke dalam Jannah-Nya. Amin.

Pujian Para Ulama
1. Al-Imam al-Bukhari rahimahullah berkata kepada beliau rahimahullah, “Ilmu yang aku ambil manfaatnya darimu itu lebih banyak ketimbang ilmu yang engkau ambil manfaatnya dariku.”
2. Al-Hafizh al-Mizzi rahimahullah menuturkan, “At- Tirmidzi rahimahullah adalah salah seorang imam yang menonjol, dan termasuk orang yang Allah jadikan kaum muslimin mengambil manfaat darinya.”

Karya Tulis
Karya tulis yang sampai kepada kita di antaranya:
1. Kitab al-Jami’, yang juga dikenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi
2. Kitab al-‘Ilal
3. Kitab asy-Syama’il an-Nabawiyyah
4. Kitab Tasmiyyatu Ashhabi Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Adapun yang tidak sampai kepada kita adalah Kitab az-Zuhd, Kitab al-Asma’ wal-Kuna, dan Kitab at-Tarikh. Di antara karya beliau rahimahullah yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah kitab al-Jami’ (Sunan at-Tirmidzi).
Sekilas tentang karya beliau rahimahullah:
1. Kitab al-Jami’
Kitab ini di kalangan para ulama dikenal dengan dua nama, Jami’ at-Tirmidzi dan Sunan at-Tirmidzi. Namun penamaan pertama adalah lebih populer sebagaimana disebutkan oleh as-Sam’ani, al-Mizzi, adz-Dzahabi, Ibnu Hajar al-’Asqalani dan lain-lain. Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah kitab beliau yang paling bagus dan banyak manfaatnya, paling bagus susunannya, dan paling sedikit pengulangannya. Di dalamnya terdapat sesuatu yang tidak dijumpai di dalam kitab lain, berupa penyebutan madzhab-madzhab, segi-segi pengambilan dalil (istidlal), dan macam-macam hadits dari yang shahih, hasan, dan gharib.”
2. Kitab asy-Syamail an-Nabawiyah
Adapun kitab asy-Syamail an-Nabawiyah adalah sebuah kitab yang menerangkan sifat-sifat Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam baik secara fisik maupun akhlak. Banyak dari kalangan para ulama yang menukil dan mengambil faidah dari kitab ini seperti al-Maqdisi, al-Mundziri, al-Mizzi, adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, az-Zaila’i, Ibnu Hajar dan as-Suyuthi.

Pelajaran yang bisa Dipetik
1. Para orang tua hendaknya meneladani kebiasaan para pendahulu kita yang shalih yaitu mendidik putra-putri mereka dengan ilmu agama sejak kecil.
2. Hendaklah seseorang memiliki semangat tinggi dan pantang menyerah di dalam menuntut ilmu agama.
3. Prinsip Ahlus Sunnah adalah berpegang teguh dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhkan diri dari sikap fanatik dan taklid kepada siapapun.
Wallahu a’lamu bish shawab
Penulis: Al-Ustadz Muhammad Rifqi hafizhahullah


Dzulhijjah, Bulan Mulia Penuh Ibadah

بسم الله الرحمن الرحم


Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah
            Sesungguhnya di antara keutamaan dan karunia yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada hamba-hamba-Nya adalah dijadikannya musim (masa-masa tertentu) bagi mereka yang shalih untuk memperbanyak amal shalih di dalamnya. Di antara musim (masa-masa) tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
1. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَالْفَجْرِ (1) وَلَيَالٍ عَشْرٍ (2)
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (Al-Fajr: 1-2)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan malam yang sepuluh adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnu az-Zubair, Mujahid, dan yang lainnya. Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari.”
2. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ» يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ قَالَ: «وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
“Tidak ada hari-hari di mana amalan shalih yang dikerjakan di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari ini. Para shahabat bertanya: Termasuk pula jihad fi sabilillah? Beliau bersabda, “Ya, termasuk pula jihad fi sabilillah, kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya dan tidak kembali darinya sedikit pun.” (HR. al-BukhariAbu Dawud, dan at-Tirmidzi. Lafazh ini adalah lafazh Abu Dawud)
3. Dari Ibnu ‘Umar h, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada hari yang lebih agung dan lebih dicintai di sisi Allah subhanahu wa ta’ala jika amalan shalih dikerjakan di dalamnya daripada sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.” (HR. Ahmad)
4. Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari berkata, “Dan yang tampak dari sebab diistimewakannya sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah karena waktu tersebut merupakan tempat berkumpulnya (dan ditunaikannya) induk dari berbagai ibadah, yaitu shalat, puasa, shadaqah, dan haji. Itu semua tidak terjadi pada waktu yang lain.”

Keutamaan Hari Nahr (Tanggal 10 Dzulhijjah)
Kebanyakan kaum muslimin melalaikan hari ini, padahal sebagian ‘ulama berpendapat bahwa hari itu adalah hari yang paling utama dalam setahun secara mutlak termasuk juga (lebih utama daripada) hari Arafah. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sebaik-baik hari di sisi Allah adalah hari Nahr, dan dia adalah hari Haji Akbar.”
Sebagaimana yang disebutkan dalam Sunan Abi Dawud (1549) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambeliau bersabda, “Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari Nahr, kemudian hari al-Qarr.”
Hari al-Qarr adalah hari ketika jamaah haji berada di Mina, yaitu tanggal 11 Dzulhijjah.
Pendapat lain mengatakan bahwa hari Arafah lebih utama daripada hari Nahr, karena puasa yang dikerjakan pada hari itu akan menghapus kesalahan yang dilakukan selama dua tahun (setahun sebelumnya dan setahun setelahnya), dan tidak ada hari yang Allah membebaskan hamba dari Neraka lebih banyak daripada pada hari Arafah, dan juga karena Allah subhanahu wa ta’ala akan mendekat kepada hamba-hamba-Nya pada hari itu kemudian Allah akan membanggakan orang-orang yang wuquf di hadapan para malaikat.
Yang benar adalah pendapat pertama berdasarkan hadits di atas dan tidak ada hadits lain yang menyelisihi hadits tersebut.
Sama saja apakah yang lebih utama itu hari Nahr atau hari Arafah, maka setiap muslim hendaknya bersemangat, baik dia sedang berhaji maupun sedang mukim (tidak berhaji) untuk meraih keutamaannya dan memanfaatkan kesempatan pada hari itu (untuk banyak melakukan amalan kebajikan).

Beberapa Hukum dan Adab Terkait dengan Hari Raya ‘Idul Adh-ha yang Penuh Barakah
Saudaraku muslim, segala bentuk kebaikan adalah dengan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua aspek kehidupan kita. Sebaliknya, segala bentuk kejelekan adalah dengan menyelisihi petunjuk Nabi kita. Oleh karena itulah kami bermaksud menyebutkan kepada para pembaca sebagian perkara yang disunnahkan untuk diamalkan ataupun diucapkan pada malam idul Adh-ha yang penuh berkah, hari Nahr (tanggal 10), dan hari-hari Tasyriq (tanggal 11, 12, 13). Perkara-perkara tersebut kami ringkas dalam beberapa poin berikut:
1. Takbir
Disyariatkan mengumandangkan takbir sejak waktu fajar pada hari ‘Arafah (tanggal 9) sampai waktu ‘Ashr pada hari Tasyriq yang terakhir yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (Al Baqarah: 203)
Disunnahkan untuk mengeraskannya bagi laki-laki, baik di masjid-masjid, pasar-pasar, rumah-rumah, dan setiap selesai shalat dalam rangka memperlihatkan keagungan Allah subhanahu wa ta’ala dan menampakkan ibadah dan rasa syukur kepada-Nya.
2. Mandi, memakai wewangian, dan memakai baju paling bagus bagi laki-laki tanpa berlebihan dan tidakisbal (memanjangkan kain celana/sarung sampai melebihi mata kaki). Tidak pula memotong jenggot karena ini semua dilarang oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun kaum wanita, maka disyariatkan baginya untuk keluar ke tempat shalat ‘Id tanpa tabarruj (berhias) dan memakai wewangian. Tidak sepantasnya sebuah ketaatan kepada Allah dalam hal ini adalah shalat, dilakukan bersamanya kemaksiatan, dalam hal ini adalah tabarruj, tidak menutup auratnya dengan sempurna, dan memakai wewangian di hadapan laki-laki yang bukan mahram-nya.
3. Berangkat ke tanah lapang tempat shalat ‘Id dengan berjalan kaki, jika mudah baginya.
Menurut sunnah, pelaksanaan shalat ‘Id itu dilakukan di mushalla, yakni selain masjid berupa tanah yang lapang, kosong, dan luas. Biasanya terletak di pinggir desa/ kampung. Kecuali jika di sana ada udzur seperti hujan, maka shalat ‘Id dilaksanakan di masjid.
4. Shalat ‘Id hukumnya wajib, adapun menghadiri khutbah ‘Id hukumnya sunnah.
Pendapat inilah yang dikuatkan oleh para muhaqqiqun (peneliti) dari kalangan para ‘ulama, yang kami (penulis) condong kepadanya. Hal itu berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu; dan berkurbanlah.” (al-Kautsar: 2)
Kewajiban tersebut tidak akan gugur kecuali jika ada udzur. Para wanita juga (diwajibkan) menghadiri shalat ‘Id sebagaimana kaum muslimin lainnya walaupun sedang mengalami haid atau sedang berada dalam pingitan. Akan tetapi para wanita yang haid tidak mengerjakan shalat dan diharuskan berada pada posisi yang terpisah dengan mushalla.
5. Melewati jalan yang berbeda (jalan berangkat berbeda dengan jalan pulang)
Disunnahkan pula bagi kita untuk pergi ke mushalla ‘Id dengan melewati jalan tertentu dan ketika pulang dengan melewati jalan yang lain karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya.
6. Mengucapkan Selamat Hari Raya, karena hal ini pernah dilakukan oleh sebagian shahabat Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak ada lafazh khusus dalam masalah ini, bisa dengan mengucapkan ‘idukum mubarak,taqabbalallaahu minna wa minkum al-a’mal ash-shalihah, atau lafazh lainnya yang biasa diucapkan oleh kaum muslimin selama tidak mengandung dosa walaupun dengan bahasa Indonesia.
7. Menyembelih hewan kurban
Dilakukan setelah pelaksanaan Shalat ‘Id, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُعِدْ مَكَانَهَا أُخْرَى، وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ
“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat ‘Id, maka hendaklah dia menggantinya dengan yang lain, dan barangsiapa yang belum menyembelih (setelah shalat ‘Id), maka lakukanlah penyembelihan.”(HR. al-Bukhari dan Muslim)
Waktu penyembelihan itu ada empat hari: hari Nahr (tanggal 10) dan tiga hari-hari Tasyriq (11, 12, 13), berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Semua hari-hari tasyriq adalah (waktu) penyembelihan.” (HR. Ahmad. Lihat as-Silsilah ash-Shahihah no. 2476)
8. Makan dari Hewan Sembelihan
Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak makan sampai beliau pulang dari tempat shalat ‘Id kemudian memakan daging sembelihannya. (Zadul Ma’ad I/441)

Hati-hati dari Kesalahan yang Sering Terjadi pada Hari Raya
Berhati-hatilah wahai saudaraku muslim dari ketergelinciran ke dalam kesalahan yang banyak terjadi di tengah-tengah manusia. Di antara kesalahan tersebut adalah:
1. Mengumandangkan takbir secara bersama dengan satu suara (serempak) atau mengulang-ulang takbir di belakang seorang yang mengumandangkannya.
2. Melakukan permainan pada hari ‘Id dengan sesuatu yang haram, seperti minum minuman keras, judi, mendengarkan musik, menonton film, ikhtilath (bercampur baurnya laki-laki dan perempuan) yang bukan mahramnya, dan bentuk-bentuk kemungkaran yang lainnya.
3. Mengambil (menggunting) segala jenis rambut yang tumbuh di seluruh tubuh dan memotong kuku walaupun sedikit sebelum menyembelih hewan kurban bagi yang akan berkurban karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang yang demikian.
4. Berlebihan dan boros (menghamburkan harta) untuk sesuatu yang tidak ada manfaat dan maslahatnya, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Al-An’am: 141)
Kami memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar memberikan taufiq-Nya kepada kita untuk beramal dengan amalan yang dicintai dan diridhai-Nya, dan agar Allah memberikan pemahaman tentang agama kita, serta agar Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bisa beramal pada hari-hari yang mulia ini -sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah- dengan amalan yang shalih dan ikhlas semata-mata mengharapkan wajah-Nya yang mulia.
Diringkas dari Maqalat wa Fatawa wa Rasa`il Fadhilatusy Syaikh al-’Allamah Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah.
            Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh: Ustadz Ahmad Alfian hafizhahullahu ta’ala..


I'tikaf

بسم الله الرحمن الرحم


Adab-adabnya, hal-hal yang dibolehkan ketika i’tikaf, serta pembatal-pembatalnya

Telah kami kami sebutkan pada pembahasan yang lalu tentang Sepuluh Terakhir Ramadhan dan Lailatul Qadar dan Mengenali dan Mengamalkan I’tikaf Sesuai Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Pada kesempatan kali ini, kami akan menyebutkan beberapa adab yang hendaknya diperhatikan dan diamalkan oleh para mu’takifin, agar itikaf yang mereka lakukan benar-benar mendapatkan nilai yang maksimal di sisi Allah subnahahu wata’ala. Seiring dengan itu kami juga akan menyebutkan hal-hal yang dibolehkan bagi mu’takif ketika i’tikaf.

Tidak lupa kami juga menyebutkan pembatal-pembatal i’tikaf, yang jika seorang mu’takif melakukannya, maka i’tikafnya tidak sah, tentunya dengan harapan agar para mu’takifin bisa menghindar dan menjauh darinya. Semoga bermanfaat.
Adab-adab I’tikaf

1.       Sangat disenangi bagi seorang mu’takif (orang yang i’tikaf) untuk menyibukkan dirinya dengan memperbanyak shalat sunnah, qiyamullail, membaca Al-Qur’anul Karim, dan bersemangat untuk mengkhatamkannya lebih dari satu kali.

2.       Memperbanyak dzikir kepada Allah ta’ala, istighfar, do’a, dan shalawat atas Nabi yang ini dilakukan bersamaan dengan dzikir-dzikir syar’i yang telah dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

3.       Seorang mu’takif hendaknya menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat baginya, baik berupa perkataan maupun perbuatan.

4.       Tidak banyak bicara (yang tidak bermanfaat), karena seorang yang benyak bicaranya, akan lebih banyak salahnya.

5.       Seorang mu’takif hendaknya menjauhi segala bentuk jidal (perdebatan) dan perselisihan. [Al-Mughni karya Ibnu Qudamah]

6.       Seorang mu’takif hendaknya mau mengulurkan tangannya guna membantu para mu’takifin yang lain.

7.       Senantiasa bersikap tenang, menjaga akhlak yang baik, dan tidak membuat keributan / mengganggu para mu’takifin yang lain dengan suara yang keras yang bisa mengganggu tidur mereka atau kekhusyu’an ketika shalat.

8.       Seorang mu’takif hendaknya tidak menjadikan i’tikaf dia sebagai tempat untuk kumpul-kumpul dan begadang bersama sebagian teman-temannya atau bersama orang yang mengunjunginya, kemudian mengobrol dalam waktu yang cukup lama. Ini semua tidak selayaknya dilakukan karena menyelisihi hikmah yang dengannya i’tikaf ini disyari’atkan.
Hal-hal Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf

Para ulama telah menyebutkan beberapa hal yang dibolehkan bagi para mu’takifin ketika itikaf, di antaranya:

1.       Membuat kemah di dalam masjid yang dia gunakan untuk menyendiri di dalam beribadah.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan aku membuatkan kemah untuk beliau, beliau shalat shubuh kemudian memasukinya.” [HR. Al-Bukhari]

2.       Keluar dari masjid ketika ada kebutuhan, seperti keluar untuk menyediakan makanan dan minuman, keluar untuk menunaikan hajatnya, berwudhu, dan juga mandi. Dengan syarat kebutuhan-kebutuhan tadi memang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.

3.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk bertemu dan duduk bersama istri di dalam kemahnya, demikian pula boleh untuk menyambut siapa saja yang dating mengunjunginya, dengan syarat tidak menimbulkan fitnah.

Dari ‘Ali bin Husain radhiyallahu ‘anhuma:

أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ أي تعود إلى بيتها وَقَامَ النَّبِيُّ ليَقْلِبهَا أي ليوصلها إلى بيتها

“Bahwasanya Shafiyyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhabarkan kepadanya, bahwa dia pernah datang mengunjungi Nabi ketika beliau sedang i’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, kemudian dia (Shafiyyah) berbincang-bincang dengan beliau beberapa saat, dan kemudian dia berdiri untuk kembali ke rumahnya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengantarkan dia sampai ke rumahnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

4.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk meminang, melakukan akad nikah, dan menjadi saksi nikah di dalam masjid. Karena i’tikaf itu adalah ibadah yang tidak mengharamkan (menghalangi dikerjakannya) kebaikan (yang lainnya), maka i’tikaf tidak mengharamkan (menghalangi) seseorang dari nikah sebagaimana puasa. Demikian pula karena nikah itu adalah bentuk ketaatan, menghadirinya adalah juga merupakan bentuk taqarrub. Dan hendaknya itu semua dilakukan dengan tidak terlalu berlama-lama yang menyebabkan tersibukkannya dari i’tikaf ……

5.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk membersihkan badannya, memakai parfum, dan memakai pakaian yang baik, boleh pula menyisir rambutnya dan juga memotong kukunya.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ يُصْغِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ مُجَاوِرٌ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendongokkan kepalanya kepadaku (ketika aku berada di rumahku yang) bersebelahan dengan masjid. Aku menyisir rambut beliau dalam keadaan aku sedang haid.” [HR. Al-Bukhari]

6.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk mengadakan halaqah dalam rangka mengajarkan cara membaca Al-Qur’an atau menghadiri halaqah bacaan Al-Qur’an tersebut, demikian pula dibolehkan untuk membaca kitab-kitab ilmiah dan menghadiri majelis-majelis para ulama dan diskusi mereka, atau kegiatan lain yang bisa memberikan manfaat kepada orang lain.

7.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk naik ke atap (lantai paling atas) masjid karena itu masih termasuk bagian dari masjid.
Beberapa hal yang merusak (membatalkan) i’tikaf

Para ulama juga telah menyebutkan beberapa hal yang bisa merusak (membatalkan) i’tikaf, di antaranya:

1.       Keluar dari masjid tanpa ada keperluan yang mendesak.

Dari ‘Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

السُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ أَنْ لاَ يَعُودَ مَرِيضًا وَلاَ يَشْهَدَ جَنَازَةً وَلاَ يَمَسَّ امْرَأَةً وَلاَ يُبَاشِرَهَا وَلاَ يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ إِلاَّ لِمَا لاَ بُدَّ مِنْهُ وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ بِصَوْمٍ وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ فِي مَسْجِدٍ جَامِعٍ

“Termasuk sunnah bagi seorang mu’takif adalah tidak menjenguk orang sakit, tidak menghadiri jenazah, tidak menyentuh atau bercumbu dengan istri, tidak keluar dari masjid untuk urusan apapun kecuali memang urusan yang harus diselesaikan (di luar masjid), tidak ada i’tikaf  kecuali dengan puasa, dan tidak ada i‘tikaf kecuali dilakukan di masjid jami’.” [Shahih Sunan Abi Dawud, karya Asy-Syaikh Al-Albani] [Al-Mughni]

2.       Menggauli istri.

Para ulama sepakat bahwa seorang mu’takif jika menggauli istrinya dengan sengaja, maka i’tikafnya batal dan tidak ada kewajiban menqadha’ i’tikafnya, kecuali jika i’tikafnya tersebut adalah i’tikaf wajib. Berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid.” [Al-Baqarah: 187]

3.       Murtad (keluar) dari Islam.

Jika seorang mu’takif murtad -wal’iyadzubillah-, maka batallah i‘tikafnya, berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” [Az-Zumar: 65]

Dan dengan murtadnya itu dia telah keluar dari keadaan dia sebagai seorang mu’takif. [Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah]

4.       Hilang akal.

Disebabkan minum khamr, pingsan, atau gila. Karena berakal merupakan syarat i’tikaf.

5.       Junub atau nifas.

Karena dengan itu hilanglah syarat thaharah kubra yang juga menjadi salah satu syarat i’tikaf. [Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah]

Terakhir, kami memohon kepada Allah ta’ala agar Dia menjadikan amalan kita ini sebagai amalan yang ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya Yang Mulia, dan agar Dia juga menjadikan amalan ini bermanfaat bagi segenap kaum muslimin di manapun berada.

وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

Diterjemahkan dari sebagian isi http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=371486
http://www.assalafy.org/mahad/?p=537#more-537

http://darussalaf.or.id/stories.php?id=1804

Apabila Persaksian Hilal Ditolak oleh Sidang Itsbat

بسم الله الرحمن الرحم


Oleh Ustadz Alfian
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ[ النحل: ٤٣
Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui (An-Nahl : 43)
Maka hendaknya kita bertanya kepada orang yang berilmu, terpercaya kejujuran dan ketaqwaannya, dikenal dengan kebersihan aqidah dan kelurusan manhajnya, sehingga kita mendapatkan bimbingan dalam permasalahan yang kita tidak mengerti.
Dalam kesempatan kali ini kami bawakan Tanya jawab bersama Asy-Syaikh Al-’Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah, seorang yang tidak diragukan lagi kapasitas keilmuan, serta dikenal keshalihan dan ketaqwaannya. hal ini sebagaimana diakui oleh kawan maupun lawan. Beliau adalah seorang mufti yang disegani dan kharismatik baik dikalangan alim ‘ulama, pemerintah, maupun umat secara umum. Beliau juga dikenal berjalan di atas prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Tidaklah kami membawakan fatwa beliau di sini karena hendak bertaklid atau fanatik buta kepada beliau, tidak pula karena meyakini beliau ma’shum. Namun semata-mata kita mengambil faidah dari ilmu dan bimbingan seorang ‘ulama. Beliau tidaklah menjawab kecuali berdasarkan dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah, serta bimbingan para ‘ulama dari kalangan Salaful Ummah. Pedoman inilah yang kita jadikan pegangan.
Apabila Persaksian Hilal Ditolak oleh Sidang Itsbat

Pertanyaan : Apabila seseorang seseorang berhasil melihat hilal namun tidak mungkin menyampaikannya kepada lembaga yang berwenang, atau dia menyampaikannya namun persaksiannya ditolak, apa yang harus ia lakukan? Apakah dia berpuasa sendiri (yakni berdasarkan hilal yang telah ia lihat tersebut)? Demikian pula kalau kejadiannya adalah hilal Idul Fitri, apakah ia berhari raya sendirian?
Jawab : Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa orang tersebut berpuasa sendirian. Namun pendapat yang benar adalah bahwa dia tidak boleh berpuasa sendirian, dan tidak boleh pula beridul fitri sendirian.Namun yang wajib atasnya adalah berpuasa bersama keumuman manusia (yakni pemerintah)  dan beridul fitri bersama keumuman manusia (yakni pemerintah).

Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam :
« الصوم يوم تصومون، والفطر يوم تفطرون، والأضحى يوم تضحون »
Hari berpuasa adalah hari ketika kalian semua berpuasa (yakni bersama pemerintah), hari ‘Idul Fitri adalah hari ketika kalian semua ber’idul fitri (yakni bersama pemerintah), dan hari ‘Idul Adha adalah hari ketika kalian semua ber’idul Adha (yakni bersama pemerintah). (HR. At-Tirmidzi 697)

Kecuali jika dia hidup sendirian di tengah gurun luas (atau hutan rimba yang luas, pent) yang tidak ada seorang pun bersama dia, maka boleh baginya berpegang pada ru’yah-nya sendiri, baik untuk berpuasa maupun ‘idul fitri.

Persatuan Kaum Muslimin dalam Penentuan Ramadhan dan ‘Idul Fitri
Pertanyaan : Imam Al-Azhar menyatakan pada permulaan Ramadhan Mubarak tentang pentingnya penyatuan Ru`yatul Hilal di seluruh alam islamy, dan meminta kesepakatan seluruh kaum muslimin demi mewujudkannya. Bagaimana pendapat anda dan apakah hal tersebut mungkin?
Jawab : Tidak diragukan bahwa persatuan kaum muslimin dalam memulai Puasa dan ‘Idul Fitri merupakan suatu hal yang bagus, disenangi oleh hati, dan dituntunkan dalam syari’at jika memungkinkan. Dan tidak ada cara untuk mewujudkan persatuan tersebut kecuali dengan dua cara :
Pertama : Seluruh kaum muslimin harus meninggalkan hisab falaki, sebagaimana dulu Rasulullahshallallahu ‘alahi wa sallam meninggalkannya, demikian pula Salaful Ummah meninggalkannya. Dan beramal dengan ru’yah atau istikmal (menyempurnakan menjadi 30 hari), sebagaimana hal tersebut telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menyebutkan dalam Majmu’ Fatawa (XV/132-133) kesepakatan para ‘ulama bahwa tidak boleh berpegang kepada hisab falaki dalam penentuan Ramadhan, ‘Idul Fitri, atau yang semisalnya. Demikian pula Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (IV/127) menukilkan dari Al-Baji : Kesepakatan (Ijma’) salaf untuk tidak berpegang kepada hisab, dan bahwa Ijma’ salaf merupakan hujjah bagi umat yang datang setelah mereka.
Kedua : Umat harus konsisten perpatokan kepada ru`yah di seluruh Negara Islam, semua harus menerapkan syari’at Allah dan konsekuen di atas hukum-hukum-Nya. Apabila ru`yatul hilal telah pasti berdasarkan bukti (persaksian) yang bisa dipertanggungjawabkan secara syar’i – baik untuk menentukan masuk atau keluarnya Ramadhan – maka wajib mengikuti ru`yah tersebut. Demi mengamalkan sabda Baginda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam :
« صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته ، فإن غم عليكم فأكملوا العدة »
Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul fitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila terhalangi mendung atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi 30 hari). (HR. Muslim 1081)
« إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب الشهر هكذا وهكذا وهكذا . وأشار بيده ثلاث مرات وعقد إبهامه في الثالثة . والشهر هكذا وهكذا وهكذا . وأشار بأصابعه كلها »
Kami adalah umat yang ummiy, kami tidak menulis dan tidak menghitung. Satu bulan itu begini, begini, dan begini – beliau menunjukkan (bilangan 10) dengan tangannya sebanyak tiga kali namun melipat ibu jarinya pada kali ketiga – satu bulan itu juga bisa begini, begini, dan begini – beliau menunjukkan (bilangan 10) dengan jari-jemarinya semuanya – (HR. Al-Bukhari 1913, Muslim 1080) yang dimaksudkan oleh Rasulullah adalah bahwa dalam satu bulan itu terkadang 29 hari, dan terkadang 30 hari.
Hadits-hadits dengan makna ini (perintah hanya berpegang pada ru`yatul hilal atau istikmal ketika mendung) sangat banyak, diriwayatkan dari shahabat Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Hudzaifah Ibnul Yaman, dan selain mereka radhiyallahu ‘anhum. Tentu saja, perintah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tersebut tidak hanya ditujukan kepada penduduk Madinah ketika itu saja, namun itu merupakan perintah kepada seluruh umat pada setiap tempat dan zaman hingga hari Kiamat.
Maka apabila terpenuhi dua hal di atas, memungkinkan terwujudnya persatuan seluruh negeri kaum muslimin dalam penentuan Puasa dan ‘Idul Fitri. Maka kita memohon kepada Allah agar memberikan taufiq kepada seluruh kaum muslimin untuk mewujudkannya. Serta membantu mereka agar mau berhukum dengan Syari’at Islamiyyah (di antaranya hukum/ketentuan ru`yah untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri, pent) dan menolak segala hukum yang bertentangan dengannya (di antara berpedoman kepada hisab falaki untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri, pent). Tidak diragukan bahwa itu (berpegang kepada hukum Islam) merupakan kewajiban umat Islam, berdasarkan firman Allah,

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’ : 65)
Dan ayat-ayat lainnya yang semakna dengannya.
Tidak diragukan bahwa berhukum kepada Syari’at Islamiyyah dalam segala urusan kaum Muslimin merupakan kebaikan, keselamatan, persatuan barisan mereka, dan kemenangan kaum Muslimin terhadap musuh-musuhnya, serta kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Maka sekali lagi kita memohon kepada Allah agar melapangkan dada mereka untuk berhukum kepada Syari’at-Nya dan membantu mereka untuk itu. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Dekat.
Bila Berpuasa 31 hari
Pertanyaan : Kami berasal dari Asia Timur, bulan hijrah di negeri kami kebetulan terlambat satu hari dibandingkan negeri Saudi. Kami para mahasiswa akan pulang (dari Saudi) ke negeri kami tahun ini, sementara Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam telah bersabda, “Berpuasalah berdasarkan ru`yatul hilal dan beri’idul fitrilah berdasarkan ru`yatul hilal … dst” . Awal Ramadhan kami masih berada di Saudi, kemudian kami pulang ke negeri kami pada pertengahan Ramadhan. Hingga Ramadhan selesai, total puasa kami adalah 31 hari jadinya. Pertanyaannya : “Bagaimana hukum puasa kami, dan berapa hari semestinya kami berpuasa?”
Jawab : Apabila kalian memulai berpuasa di negeri Saudi atau lainnya, kemudian kalian melanjutkan sisa bulan Ramadhan di negeri kalian, maka beridul fitrilah berdasarkan Idul Fitri negeri kalian, walaupun kalian harus berpuasa 31 hari. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam“Hari berpuasa adalah hari ketika kalian semua berpuasa (yakni bersama pemerintah), hari ‘Idul Fitri adalah hari ketika kalian semua ber’idul fitri (yakni bersama pemerintah), dan hari ‘Idul Adha adalah hari ketika kalian semua ber’idul Adha (yakni bersama pemerintah)”. (HR. At-Tirmidzi 697)
Namun jika puasa kalian belum mencapai jumlah 29 hari, maka wajib atas kalian untuk menyempurnakan kekurangan satu hari tersebut (yakni dengan mengqadha’nya). Karena dalam satu bulan tersebut tidak kurang dari 29 hari. Wallahu waliyyut Taufiq.


Penjelasan Para ‘Ulama tentang Penentuan Ramadhan dan Idul Fitri Berdasarkan Hisab Falaki

بسم الله الرحمن الرحم


Oleh Ustadz Alfian
Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan berdasarkan Hisab Astronomis tidak memiliki dasar hukum sama sekali, baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah maupun ijma’. Bahkan jelas-jelas bertentangan dengan dalil-dalil di atas. Lebih dari itu, bahwa generasi as-salafush shalih telah bersepakat bahwa cara penentuan Ramadhan adalah hanya dengan ru`yatul hilal.
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah  berkata dalam Fathul Bâri ketika menjelaskan hadits :
« إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب ، الشهر هكذا وهكذا وهكذا » يعني مرة تسعة و عشرين و مرة ثلاثين
Kami adalah umat yang ummiy, kami tidak menulis dan tidak menghitung. Satu bulan itu begini, begini, dan begini. Yakni terkadan 29 hari, terkadang 30 hari.
“Maksud kata ‘Al-Hisab’ dalam hadits ini adalah ilmu hisab perbintangan dan peredarannya. Mereka (para shahabat) dahulu tidak mengetahui tentang ilmu tersebut kecuali segelintir orang saja. Maka (Syari’at) mengaitkan hukum (kewajiban) shaum dan yang lainnya dengan ru’yah (al-hilâl), dalam rangka meniadakan kesulitan dari mereka jika menggunakan ilmu hisab peredaran bintang. Hukum ini terus berlanjut dalam ketentuan ash-shaum walaupun pada masa setelah mereka muncul orang-orang yang mengetahui ilmu hisab perbintangan tersebut. Bahkan konteks hadits di atas menunjukkan penafian mutlak keterkaitan hukum (shaum Ramadhan) dengan ilmu hisab. Hal ini diperjelaskan dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas :
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا العِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Jika terhalangi (oleh mendung) maka sempurnakan bilangan (Sya’ban) menjadi tiga puluh hari”
Beliau  tidak berkata : ‘Bertanyalah kalian kepada para pakar ilmu hisab’.
Hikmah di balik perintah ini adalah terwujudnya kesamaan perhitungan seluruh mukallaf (kaum muslimin) dalam penentuan bilangan hari ketika langit mendung, sehingga hilanglah perbedaan dan perselisihan dari mereka.
Ada suatu pihak yang telah berkeyakinan bersandar kepada para pakar ilmu hisab dalam permasalahan ini, mereka itu adalah kelompok Syî’ah Râfidhah, dan dinukilkan adanya persetujuan segelintir ahli fiqh terhadap mereka.
Al-Imâm Al-Bâji berkata : Ijmâ’ (Konsesus bersama) generasi as-salafush shâlih merupakan hujjah yang membantah mereka.’ Al-Imâm Ibnu Bazâzah berkata : ‘Ini  (berpegang pada ilmu hisab) adalah keyakinan yang batil, syari’at (Islam) telah melarang untuk mendalami ilmu nujûm, karena ilmu tersebut hanya sebatas prasangka yang tidak ada kepastian padanya …’ –sekian Al-Hâfizh–
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
بخلاف من خرج في ذلك إلى الأخذ بالحساب أو الكتاب كالجداول وحساب التقويم والتعديل المأخوذ من سيرهما . وغير ذلك الذي صرح رسول الله صلى الله عليه وسلم بنفيه عن أمته والنهي عنه . ولهذا ما زال العلماء يعدون من خرج إلى ذلك قد أدخل في الإسلام ما ليس منه فيقابلون هذه الأقوال بالإنكار الذي يقابل به أهل البدع
مجموع الفتاوى [25 /179 ]
“Berbeda dengan orang-orang yang keluar (dari cara yang haq) dalam permasalahan tersebut (penentuan awal Ramadhan) dengan mengambil cara hisab atau tulisan seperti jadwal dan perhitungan kalender yang diambil dari perhitungan peredaran Matahari dan Bulan, dan cara-cara lainnya yang dengan tegas Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam telah meniadakan hal tersebut dan melarangnya dari umatnya. Oleh karena itu para ‘ulama senantiasa menganggap orang-orang yang mengambil cara-cara tersebut (hisab) sebagai orang yang telah memasukkan dalam Islam suatu ajaran yang bukan bagian dari Islam itu sendiri. Maka mereka (para ‘ulama) menyikapi pendapat-pendapat seperti dengan pengingkaran, sebagaimana mereka menyikapi ahlul bid’ah.”
ولا ريب أنه ثبت بالسنة الصحيحة واتفاق الصحابة أنه لا يجوز الاعتماد على حساب النجوم كما ثبت عنه في الصحيحين أنه قال : { إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته } . والمعتمد على الحساب في الهلال كما أنه ضال في الشريعة مبتدع في الدين فهو مخطئ في العقل وعلم الحساب . فإن العلماء . بالهيئة يعرفون أن الرؤية لا تنضبط بأمر حسابي وإنما غاية الحساب منهم إذا عدل أن يعرف كم بين الهلال والشمس من درجة وقت الغروب مثلا ؛ لكن الرؤية ليست مضبوطة بدرجات محدودة فإنها تختلف باختلاف حدة النظر وكلاله وارتفاع المكان الذي يتراءى فيه الهلال وانخفاضه وباختلاف صفاء . الجو وكدره . وقد يراه بعض الناس لثمان درجات وآخر لا يراه لثنتي عشر درجة ؛ ولهذا تنازع أهل الحساب في قوس الرؤية تنازعا مضطربا وأئمتهم : كبطليموس لم يتكلموا في ذلك بحرف لأن ذلك لا يقوم عليه دليل حسابي . وإنما يتكلم فيه بعض متأخريهم مثل كوشيار الديلمي وأمثاله . وإنما يتكلم فيه بعض متأخريهم مثل كوشيار الديلمي وأمثاله . لما رأوا الشريعة علقت الأحكام بالهلال فرأوا الحساب طريقا تنضبط فيه الرؤية وليست طريقة مستقيمة ولا معتدلة بل خطؤها كثير وقد جرب وهم يختلفون كثيرا : هل يرى ؟ أم لا يرى ؟ وسبب ذلك : أنهم ضبطوا بالحساب ما لا يعلم بالحساب فأخطئوا طريق الصواب
مجموع الفتاوى [25 /207]
Tidak diragukan lagi berdasarkan As-Sunnah (hadits-hadits) yang sah serta kesepakatan para shahabat bahwasanya tidak boleh menyandarkan (masuk dan keluarnya bulan Ramadhan) kepada ilmu hisab astronomi sebagaimana hadits yang telah sah dari beliau (Rasulullah ) yang diriwayatkan dalam Ash-Shahîhain (Al-Bukhâri dan Muslim) bahwa beliau bersabda :
‏إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ‏
“Sesungguhnya kami adalah umat  yang ummiy, kami tidak bisa menulis dan tidak pula menghisab. Maka bershaum-lah kalian berdasarkan ru’yatul Hilâl, dan ber’idulfitrilah berdasarkan ru’yatul Hilâl).”
Sementara orang yang menyandarkan diri pada ilmu hisab untuk menentukan al-hilâl, sebagaimana ia telah sesat dalam syari’at sekaligus sebagai mubtadi’ (pencetus bid’ah) dalam agama ini, maka ia pun salah menurut akal dan ilmu hisab itu sendiri. Karena sesungguhnya para pakar di bidang ilmu hisab mengetahui bahwasanya ru’yah tidak dapat ditentukan secara pasti berdasarkan perhitungan ilmu hisab. Maksimal ilmu hisab mereka, kalau benar, adalah menentukan berapa derajat jarak antara al-hilâl (Bulan) dan Matahari ketika terbenam. Sementara ru’yah bukanlah perkara yang bisa dihitung secara pasti dalam derajat tertentu. Karena ru’yah berbeda sesuai dengan perbedaan tingkat ketajaman dan kejelian pandangan, dan sangat bergantung pada tingkat tinggi rendahnya tempat melakukan ru`yatul hilâl. Sebagaimana juga sangat bergantung kepada tingkat perbedaan cerah dan tidaknya cuaca.
Bisa saja sebagain orang berhasil melihat Al-Hilal pada ketinggian 80 (delapan derajat), sementara yang lainnya tidak berhasil melihatnya walaupun pada ketinggian 120 (dua belas derajat). Atas dasar itu para pakar ilmu hisab berselisih secara tidak menentu, dan para tokoh mereka –semacam Bathlemous – tidak berbicara dalam masalah ini sedikitpun, karena permasalahan tersebut tidak bersandar di atas ketentuan yang pasti dalam ilmu hisab.
Yang berbicara tentang hal itu hanyalah para tokoh ahli hisab yang datang belakangan –seperti Kusyiar Ad-Dailami dan yang semisalnya-  ketika mereka mendapati bahwa Syari’at (Islam) banyak mengaitkan hukum-hukum dengan (Ru’yah) Al-Hilâl. Maka mereka meyakini bahwa ilmu hisab merupakan cara yang bisa digunakan untuk memastikan ru’yatul hilâl. Padahal cara (hisab) tersebut bukanlah cara yang tepat, bukan pula cara yang sesuai, bahkan salahnya lebih banyak. Dan itu telah terbukti. Para pakar ilmu hisab pun banyak berselisih : apakah hilal  -dengan derajat tertentu- terlihat ataukah tidak?
Sebabnya adalah karena mereka memastikan sesuatu berdasarkan ilmu hisab padahal sesuatu tersebut tidak dapat diketahui/ditentukan berdasarkan ilmu hisab. Sehingga dengan itu mereka menyimpang dari jalan yang benar.”
فإنا نعلم بالاضطرار من دين الإسلام أن العمل في رؤية هلال الصوم أو الحج أو العدة أو الإيلاء أو غير ذلك من الأحكام المعلقة بالهلال بخبر الحاسب أنه يرى أو لا يرى لا يجوز . والنصوص المستفيضة عن النبي صلى الله عليه وسلم بذلك كثيرة . وقد أجمع المسلمون عليه . ولا يعرف فيه خلاف قديم أصلا ولا خلاف حديث ؛ إلا أن بعض المتأخرين من المتفقهة الحادثين بعد المائة الثالثة زعم أنه إذا غم الهلال جاز للحاسب أن يعمل في حق نفسه بالحساب فإن كان الحساب دل على الرؤية صام وإلا فلا . وهذا القول وإن كان مقيدا بالإغمام ومختصا بالحاسب فهو شاذ مسبوق بالإجماع على خلافه . فأما اتباع ذلك في الصحو أو تعليق عموم الحكم العام به فما قاله مسلم .
مجموع الفتاوى [25 /132-133]
“Maka kita mengetahui secara pasti dari agama Islam, bahwa menentukan terlihatnya hilal dalam penentuan pelaksanaan ibadah shaum, haji, ‘iddah, ila’ atau hukum-hukum lainnya yang terkait dengan hilal berdasarkan berita seorang ahli hisab bahwa hilal terlihat atau tidak terlihat, maka yang demikian tidak boleh. Dalil-dalil yang sangat banyak dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dalam masalah ini sangat banyak, dan kaum muslim telah berijma’ dalam masalah tersebut. Tidak diketahui adalah perbedaan pendapat dalam masalah tersebut, baik dulu maupun sekarang. Kecuali sebagian muta’akhkhirin dari kalangan orang-orang yang menampilkan diri sebagai ahli fiqh, yang muncul setelah abad ke-3 mengklaim bahwa apabila hilal terhalangi mendung maka boleh bagi seorang ahli hisab untuk menerapkan hisabnya untuk dirinya sendiri, jika hisab menunjukkan hilal terlihat maka berpuasa, jika tidak maka tidak berpuasa. Klaim ini, meskipun terbatas pada waktu mendung dan khusus bagi ahli hisab itu itu saja, maka merupakan pendapat yang ganjil, telah terdahului oleh ijma’ yang menunjukkan hal sebaliknya. Adapunmengikuti klaim tersebut dalam kondisi cerah atau mengkaitkan hukum umum dengannya, maka tidak diucapkan oleh seorang muslim pun.