Ketentuan dan Prinsip-Prinsip Dalam Berjihad

Penulis: Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain
.: :.
Beberapa Ketentuan Seputar Jihad

Dalam pasal ini, kami ingin menegaskan beberapa prinsip penting berkaitan dengan jihad melawan orang kafir. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

Satu : Jihad memerangi musuh hanyalah salah satu sarana dan dakwah untuk menegakkan agama Allah di muka bumi, bukan tujuan utama.

Allah Ta’âlâ berfirman,

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Baqarah : 193)

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfâl : 39)

Berkata Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’dy (w. 1376 H) rahimahullâh menafsirkan ayat di atas, “Kemudian (Allah) Ta’âlâ menyebutkan maksud dari berperang di jalan-Nya, dan bukanlah maksud dari berperang itu menumpahkan darah orang-orang kafir dan mengambil harta-harta mereka, akan tetapi maksudnya adalah supaya agama semata milik Allah sehingga nampaklah agama Allah Ta’âlâ di atas segala agama, dan tersingkirlah segala hal yang menentangnya berupa kesyirikan dan selainnya, dan itulah fitnah yang diinginkan (dalam ayat ini). Apabila maksud tersebut telah tercapai maka tidak ada pembunuhan dan tidak ada peperangan.”

Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ

“Siapa yang berperang supaya kalimat Allah yang paling tinggi, maka dialah yang berada di atas jalan Allah.” [1]

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H) rahimahullâh, “Maka (dijatuhkannya) hukuman adalah terhadap yang meninggalkan kewajiban-kewajiban dan melakukan hal-hal yang diharamkan, dan itu adalah maksud dari jihad di jalan Allah.” [2]

Dan berkata Ibnul Qayyim (w. 751 H) rahimahullâh, “Karena untuk (menegakkan) tauhid inilah, pedang-pedang jihad terhunus.” [3]

Maka jelaslah dari keterangan-keterangan di atas bahwa jihad bukanlah maksud utama yang harus terlaksana pada segala keadaan, akan tetapi jihad itu hanyalah suatu sarana dan dakwah untuk mencapai suatu maksud yang agung, yaitu meninggikan agama Allah dan mengikhlashkan segala peribadatan murni hanya untuk Allah semata.

Andaikata jihad merupakan tujuan utama maka tidaklah kewajiban jihad itu gugur dengan pembayaran jizyah dari orang-orang kafir kepada kaum muslimin. Namun Allah menggugurkan kewajiban jihad melawan orang kafir bila mereka telah membayar jizyah (upeti) kepada kaum muslimin. Sebagaimana dalam firman-Nya,

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka (Yahudi dan Nashora), sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah : 29)

Dua : Tidak ada perang terhadap orang kafir yang belum mendengar dakwah Islam kecuali setelah menawarkan keislaman kepada mereka atau membayar jizyah.

Hal ini berdasarkan hadits Buraidah radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِيْ خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ أُغْزُوْا بِاسْمِ اللهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ قَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ أُغْزُوْا وَلاَ تَغُلُّوْا وَلاَ تَغْدِرُوْا وَلاَ تُمَثِّلُوْا وَلاَ تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا وَإِذَا لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ

“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa âlihi wa salllam apabila beliau mengangkat amir/pimpinan pasukan beliau memberikan wasiat khusus untuknya supaya bertakwa kepada Allah dan (wasiat pada) orang-orang yang bersamanya dengan kebaikan. Kemudian beliau berkata, “Berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah, bunuhlah siapa yang kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan jangan mencuri harta rampasan perang dan janganlah mengkhianati janji dan janganlah melakukan tamtsîl (mencincang atau merusak mayat) dan janganlah membunuh anak kecil dan apabila engkau berjumpa dengan musuhmu dari kaum musyrikin dakwailah mereka kepada tiga perkara, apa saja yang mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka ; serulah mereka kepada Islam apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti) dari mereka dan apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan kepada Allah kemudian perangi mereka”. [4]

Tiga : Tidak ada perang terhadap mereka yang mengumandangkan adzan dan menegakkan sholat.

Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا غَزَا بِنَا قَوْمًا لَمْ يَكُنْ يَغْزُوْ بِنَا حَتَّى يُصْبِحَ وَيَنْظُرَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا كَفَّ عَنْهُمْ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ عَلَيْهِمْ

“Sesungguhnya Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam apabila bersama kami untuk memerangi suatu kaum, beliau tidak melakukan perang tersebut hingga waktu pagi, kemudian beliau menunggu, apabila beliau mendengar adzan maka beliau menahan diri dari mereka dan apabila beliau tidak mendengar adzan maka beliau menyerang mereka secara tiba-tiba. ” [5]

Cermatilah hadits di atas dan perhatikan keadaan sebagian orang yang melakukan aksi-aksi peledakan dan bom bunuh diri di tengah kaum muslimin, di tengah negeri yang dikumandang adzan dan ditegakkan sholat lima waktu padanya.

Wahai betapa menyedihkannya, dimana naluri dan akal mereka, apakah hal tersebut terhitung jihad???.

Empat : Izin kepada orang tua dalam jihad.

Perlu diketahui bahwa hukum jihad adalah kadang-kadang fardhu kifayah dan kadang fardhu ‘ain. Bertolak dari sini para ulama membedakan antara hukum minta izin dalam jihad yang fardlu ‘ain dan jihad yang fardlu kifayah.

Apabila jihad itu fardlu kifayah atau jihad tathawwu’, maka diwajibkan izin kepada orang tua dan diharamkan berangkat tanpa izin keduanya Ini adalah kesepakatan para ulama berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh radhiyallâhu ‘anhumâ, beliau berkata,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ, فَقَالَ : أَحَيٌّ وَالِدَاكَ ؟ قَالَ : نَعَمْ, قَالَ : فَفِيْهِمَا فَجَاهِدْ

“Datang seorang lelaki kepada Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam minta izin kepadanya untuk berangkat jihad. Maka beliau bertanya, “Apakah kedua orangtuamu masih hidup?” la menjawab, “Iya.” Maka beliau bersabda, “Pada keduanyalah engkau berjihad”.” [6]

Berbakti kepada orang tua hukumnya adalah fardhu ‘ain. Sehingga ia lebih didahulukan terhadap jihad yang hukumnya hanya fardlu kifayah.

Adapun bila jihad itu fardlu ‘ain, maka tidak disyaratkan mendapat izin dan restu dari orang tua. Walaupun dua amalan ini; jihad dan berbakti kepada orang tua merupakan fardlu ‘ain, akan tetapi jihad lebih didahulukan karena mashlahatnya yang lebih besar, yang mana dengan jihad ini terjaganya Dinul Islam dan sekaligus pembelaan terhadap kaum muslimin. Dan juga meninggalkan jihad di saat ia merupakan fardlu ‘ain adalah suatu kemaksiatan, sedangkan tidak ada ketaatan pada orang tua dalam bermaksiat kepada Allah. Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menegaskan,

لاَ طَاعَةَ فِي الْمَعْصِيَةِ, إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ

“Tidak ada ketaatan pada kemaksiatan, ketaatan itu hanyalah pada hal-hal yang ma’ruf.” [7]

Apabila jihad itu fardhu kifâyah, para ulama berbeda pendapat apakah harus minta izin kepada orang tua yang masih dalam keadaan kafir atau tidak. Jumhur ulama berpendapat tidak diharuskan minta ijin kepada orang tua yang masih kafir. Di versi lain, Imam Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H) rahimahullâh mengharuskan minta izin.

Dan yang kuat menurut kami adalah apa yang dikatakan oleh Imam Al-‘Auzâ’iy (w. 157 H), “Apabila ibu melarang anaknya dengan maksud untuk melemahkan Islam, maka jangan ditaati dan apabila ia melarang anaknya untuk melaksanakan kebutuhannya, maka hendaklah ia tetap bersamanya.”

Kami menguatkan hal ini karena perintah berbakti kepada orang tua datang dalam bentuk umum dalam nash Al-Qur`ân dan As-Sunnah, tidak membedakan antara orang tua yang muslim maupun kafir. Dan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallâhu ‘anhumâ di atas berlaku umum dan tidak dibedakan antara orang tua yang bebas maupun budak, maka hukum meminta izin pada jihad fardlu kifayah tetap berlaku. [8]

Lima : Syari’at jihad akan tetap berlanjut hingga hari kiamat.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ. وَلَا تَزَالُ عِصَابَةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يُقَاتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ عَلَى مَنْ نَاوَأَهُمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Siapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan maka Allah akan membuatnya faham dalam agama. Dan akan terus menerus ada sekelompok dari kaum muslimin yang nampak berperang di atas kebenaran menghadapi siapa yang memusuhi mereka hingga hari kiamat.” [9]

Dan dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Âmir radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا تَزَالُ عِصَابَةٌ مِنْ أُمَّتِي يُقَاتِلُونَ عَلَى أَمْرِ اللَّهِ قَاهِرِينَ لِعَدُوِّهِمْ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى تَأْتِيَهُمْ السَّاعَةُ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ.

“Terus menerus ada dari ummatku yang berperang di atas perintah Allah dengan mematahkan musuh-musuh mereka, tidaklah membahayakan mereka orang yang menyelisihi mereka hingga tiba hari kiamat dan mereka di atas hal tersebut.”

Mendengar hal tersebut, ‘Abdullâh bin ‘Amr bin ‘Âsh radhiyallâhu ‘anhumâ membenarkan dan menimpalinya,

أَجَلْ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ رِيحًا كَرِيحِ الْمِسْكِ مَسُّهَا مَسُّ الْحَرِيرِ فَلَا تَتْرُكُ نَفْسًا فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ الْإِيمَانِ إِلَّا قَبَضَتْهُ ثُمَّ يَبْقَى شِرَارُ النَّاسِ عَلَيْهِمْ تَقُومُ السَّاعَةُ

“Benar. Kemudian Allah akan mengirim angin seperti semerbak misk, sentuhannya bagaikan sentuhan sutra, tidak satu jiwapun yang dalam hatinya masih terdapat seberat bijian dari keimanan kecuali pasti ia akan mewafatkannya. Lalu hanya tersisa manusia yang paling jelek, yang hari kiamat akan bangkit pada mereka.” [10]

Dua hadits di atas menunjukkan bahwa jihad akan tetap berlanjut pada setiap masa hingga hari kiamat. Dan kaum muslimin tidak akan terputus dalam menunaikan tugas mulia tersebut hingga angin lembut yang penuh dengan semerbak keharuman tersebut mencabut nyawa orang-orang yang beriman. Namun perlu diingat bahwa yang diinginkan dengan jihad disini adalah jihad dalam pengertiannya yang umum dan mencakup seluruh jenis jihad yang disyari’atkan. Maka disaat ada kemampuan dan kekuatan, ditegakkanlah jihad secara fisik dengan persenjataan lengkap, adapun disaat lemahnya kemampuan dan kekuatan kaum muslimin, maka yang ditegakkan adalah jihad dengan hujjah dan argument atau paling minimalnya kebencian terhadap kekufuran di dalam hatinya.

Dan juga kita meyakini bahwa umat Islam ini tidak akan dapat dihancurkan dan tidak mungkin binasa di tangan musuh-musuh mereka. Sebab Allah telah menjamin hal tersebut dalam firman-Nya,

“Jika kalian bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepada kalian.” (QS. Âli ‘Imrân : 120)

Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam mengabarkan firman Allah dalam hadits Qudsi,

…وَأَنْ لَا أُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًا مِنْ سِوَى أَنْفِسِهِمْ يَسْتَبِيْحُ بَيْضَتَهُمْ وَلَوِ اجْتَمَعَ عَلَيْهِمْ مَنْ بِأَقْطَارِهَا - أَوْ قَالَ مِنْ بَيْنَ أَقْطَارِهَا - حَتَّى يَكُوْنَ بَعْضُهُمْ يُهْلِكُ بَعْضًا وَيَسْبِيْ بَعْضُهُمْ بَعْضًا

“…dan Aku tidak membiarkan musuh dari selain mereka berkuasa terhadap mereka, kemudian menghalalkan kemulian mereka –walaupun (musuh-musuh itu) telah bersatu dari seluruh penjuru dunia terhadap mereka-. Hingga sebahagian mereka (sendiri) yang menghancurkan sebagian yang lainnya, dan sebahagian mereka menawan sebagian yang lainnya.” [11]

Wallâhul Muwaffiq.

[1] Hadits Abu Musâ Al-Asy’ary radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâri no. 123, 2810, 3126, 7458, Muslim no. 1904, Abu Dâud no. 2517-2518, At-Tirmidzy no. 1650, An-Nasâ`i 6/23 dan Ibnu Mâjah no. 2783.

[2] Majmû’ Al-Fatâwâ 28/308.

[3] Zâdul Ma’âd 1/34 dan I’lâmul Muwaqqi’în 1/4.

[4] Dikeluarkan oleh Imam Muslim no. 1731, Abu Dâud no. 2613, At-Tirmidzy no. 1412, 1621, An-Nasâ`i dalam As-Sunan Al-Kubrô no. 8586, 8680, 8765, 8782 dan Ibnu Mâjah no. 2857, 2858.

[5] Hadits riwayat Al-Bukhâri no. 610, 2943, Muslim no. 382, Abu Daud no. 2634, dan At-Tirmidzy no. 1622.

[6] Hadits riwayat Al-Bukhâri no. 3004, 5972, Muslim no. 2549,Abu Daud no. 2529, At-Tirmidzy no. 1675, dan An-Nasa`i 6/10.

[7] Hadits riwayat Al-Bukhâri no. 7257, 4340, 7145, Muslim no. 1840, Abu Dâud no. 2625, dan An-Nasâ`i 7/159 dari ‘Ali bin Abi Thôlib radhiyallâhu ‘anhu. Dan semakna dengannya hadits Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry no. 2955, 7144 dan Muslim no. 1839, Abu Dâud no. 2626, At-Tirmidzy no. 1711, An-Nasâ`i 7/160 dan Ibnu Mâjah no. 2864.

[8] Lihat pembahasan masalah ini dalam Bahrur Râ`iq 5/78, Bada`i’ush-Shanâ`i’ 7/98, Al-Mughny 13/25-27, Al-Kâfy 4/254-255, Al-Ifshâh 9/57, Al-Inshâf 4/123, Hâsyiah Ar-Raudhul Murbi’ 4/261-262, Raudhatut Thâlibîn 10/211-212, Syarh As-Sunnah 10/377-379, Subulus Salâm 4/78, Nailul Authâr 7/234 dan lain-lain.

[9] Hadits riwayat Al-Bukhâry no. 71, 3116, 3641, 7312, 7460 dan Muslim no. 1037 dari Mu’âwiyah bin Abi Sufyân radhiyallâhu ‘anhu. Dan konteks hadits milik Imam Muslim.

[10] Hadits riwayat Muslim no. 1924.

[11] Riwayat Muslim no. 2889, Abu Dâud no. 4252, At-Tirmidzy no. 2181 dan Ibnu Mâjah no. 3952 dari Tsaubân radhiyallâhu ‘anhu.

(http://jihadbukankenistaan.com/menyelami-jihad/beberapa-ketentuan-seputar-jihad.html)

Prinsip-prinsip Penting Dalam Masalah Jihad

Meluruskan pemahaman tentang makna jihad adalah suatu keharusan pada masa ini, dimana berbagai kejadian yang melanda manusia, baik itu aksi-aksi peledakan, penculikan, pembajakan, kekerasan dan sebagainya, oleh para pelakunya dinamakan “Jihad” atau ditampilkan kepada publik dengan lebel jihad. Di versi lain, sejumlah manusia, ada yang menganggap hal tersebut sebagai perbuatan yang sama sekali tidak bersumber dari aturan jihad dalam syari’at.

Maka melalui goresan pena ini, kami berusaha mengetengahkan kepada para pembaca yang budiman secara ringkas masalah jihad yang kerap dipahami tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam syariat Islam. Mudah-mudahan bermanfaat bagi segenap kaum muslimin dan muslimat dalam meredam berbagai kesalahan persepsi dalam masalah ini. Amiin. Yaa.. Mujibas-Sa-ilin.

Sebelum menguraikan beberapa prinsip penting yang berkaitan dengan jihad, ada baiknya kalau kita menyimak definisi jihad dalam keterangan berikut ini,

Definisi Jihad

Jihad secara etimologi adalah kepayahan, kesulitan, atau mencurahkan segala daya dan upaya. Yaitu mencurahkan segala upaya dan kemampuan untuk mendapat suatu perkara yang berat lagi sulit.

Berkata Ar-Raghib Al-Ashbahâny (w. 502 H) rahimahulläh menerangkan hakikat jihad, “(Jihad) adalah bersungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kemampuan dalam melawan musuh dengan tangan, lisan, atau apa saja yang ia mampu. Dan (jihad) itu adalah tiga perkara; berjihad melawan musuh yang nampak, syaithan dan diri sendiri. Dan ketiganya (tercakup) dalam firman (Allah) Ta’âlâ,

“Dan berjihadlah kalian pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj : 78)” [1]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulläh berkata, “Jihad kadang dengan hati seperti berniat dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya, atau dengan berdakwah kepada Islam dan syari’atnya, atau dengan menegakkan hujjah (argumen) terhadap penganut kebatilan, atau dengan ideologi dan strategi yang berguna bagi kaum muslimin, atau berperang dengan diri sendiri. Maka jihad wajib sesuai dengan apa yang memungkinkannya.” [2]

Adapun secara terminologi, Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh mengatakan, “Mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir.” [3]

Dalam Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, disebutkan kesimpulan para ahli fiqih bahwa jihad secara istilah adalah muslim memerangi kafir yang tidak dalam perjanjian damai, setelah didakwahi dan diajak kepada Islam, guna meninggikan kalimat Allah.

Al-Hâfizh Ibnu Hajar menjelaskan, “Awal disyariatkannya jihad adalah setelah hijrahnya Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam ke Madinah menurut kesepakatan para ulama.” [4]

Dan tidak ada silang pendapat di kalangan para ulama tentang disyari’atkannya jihad fi sabîlillâh. Al-Qur`ân dan As-Sunnah penuh dengan nash-nash yang menunjukkan syari’at jihad, anjuran dan keutamaannya.

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur`ân. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah : 111)

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Rabb mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhaan dan syurga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.” (QS. At-Taubah : 20-22)

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kalian Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kalian dari azab yang pedih? (yaitu) kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Itulah yang lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kalian) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kalian sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Ash-Shoff : 10-14)

Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

لَغُدْوَةٌ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَوْ رَوْحَةٌ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Sesungguhnya keluar di pagi hari (berjihad) di jalan Allah atau petang hari adalah lebih baik daripada dunia dan seisinya.” [5]

Dan nash-nash dalam hal ini sangat banyak. Dan disini kami hanya mengisyaratkan akan keutamaan ibadah yang sangat agung ini. Wallâhul Musta’ân.

[1] Dengan perantara Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah pada pembahasan جهاد.

[2] Ibid.

[3] Lihat Fathul Bâri 6/5, Hâsyiyah Ar-Raudh Al-Murbi’ 4/253 dan Nailul Authâr 7/246.

[4] Lihat Fathul Bâri 6/4-5 dan Nailul Authâr 7/246-247.

[5] Hadits Anas bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhary no. 2792, 2796, 6568, Muslim no. 1880, At-Tirmidzy no. 1655 dan Ibnu Mâjah no. 2757. Dan semakna dengannya hadits Sahl bin Sa’ad As-Sâ’idy radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry no. 2794, 2892, 3250, 6415, Muslim no. 1881, At-Tirmidzy no. 1652, 1668, An-Nasâ`i 6/15 dan Ibnu Mâjah no. 2756. Dan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry no. 2793, 3253, Muslim no. 1882 dan Ibnu Mâjah no. 2755. Serta hadits Abu Ayyûb Al-Anshôri radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim no. 1883 dan An-Nasâ`i 6/15. Dan hadits ini digolongkan mutawâtir oleh Al-Kattâni dalam Nazhmul Mutanâtsir Min Al-Ahâdîts Al-Mutawâtir hal. 153.

(http://jihadbukankenistaan.com/menyelami-jihad/prinsip-prinsip-penting-dalam-masalah-jihad.html)

Pembagian Jihad

Jihad fii sabîlillâh dalam syari’at Islam, tidak hanya memerangi orang-orang kafir saja, bahkan jihad menurut kacamata syari’at dalam pengertian umum meliputi beberapa perkara :

Pertama : Jihâdun Nafs (Jihad dalam memperbaiki diri sendiri)

Kedua : Jihâdusy Syaithôn (Jihad melawan syaithôn)

Ketiga : Jihâdul Kuffâr wal Munâfiqîn (Jihad melawan orang-orang kafir dan kaum munâfiqîn)

Keempat : Jihâd Arbâbuzh Zholmi wal Bida’ wal Munkarât (Jihad menghadapi orang-orang zholim, ahli bid’ah, dan pelaku kemungkaran)

Setiap perkara dari empat macam jihad ini, terdiri dari beberapa tingkatan lagi yang berkaitan dengannya. Dan menurut keterangan Ibnul Qayyim, seluruh tingkatan jihad itu berjumlah tiga belas tingkatan.

Dan perlu diingat, bahwa junjungan kita yang mulia, Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam adalah orang yang berada pada tingkatan tertinggi dalam jihad fi sabilillah, dimana beliau telah berjihad di jalan-Nya dengan sebenar-benar jihad, dan beliau telah melaksanakan seluruh bentuk jihad yang ada, dan mewaqafkan seluruh detik-detik kehidupannya untuk berjihad, baik dengan hati, lisan maupun dengan tangannya. Karena itulah beliau yang paling tinggi derajatnya dan termulia nilai dan kedudukannya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. [1]

1. Jihâdun Nafs (Jihad dalam memperbaiki diri)

Syari’at Jihadun Nafs ini diterangkan pentingnya dalam hadits Fudhâlah bin ‘Ubaid radhiyallâhu ‘anhu, dimana Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

اَلْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللهِ

“Seorang mujahid adalah orang yang berjihad memperbaiki dirinya dalam ketaatan kepada Allah”. [2]

Jihâdun Nafs ini mempunyai empat tingkatan :

Tingkatan pertama : Jihad memperbaiki diri dengan mempelajari ilmu syari’at; Al-Qur’ân dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salaf.

Karena Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan untuk mempelajari agama dan menyiapkan pahala yang sangat besar bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang berilmu. Allah Jalla Jalâluhu berfirman,

“Maka ilmuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sembahan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS. Muhammad : 19 )

Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat .” (QS. Al-Mujadilah : 11)

Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.” [3]

Tentunya dalil-dalil tentang keutamaan ilmu dan orang yang berilmu sangatlah banyak. Silahkan baca kitab Miftâh Dârus Sa’âdah 1219-496.

Tingkatan kedua : Berjihad dalam mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya.

Allah Ta’âlâ berfirman,

“Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nisâ` : 66-68)

Dan siapa yang beramal dengan ilmunya, maka Allah Jalla Tsanâ`uhu akan memberikan kepadanya ilmu yang ia tidak ketahui. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah Ta’âlâ dalam firman-Nya,

“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketaqwaannya .” (QS. Muhammad : 17)

Dan tidak beramal dengan ilmu merupakan sebab terlantar dan hilangnya ilmu tersebut, sebagaimana dalam firman-Nya,

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya.” (QS. Al-Mâ`idah : 13)

Karena mereka melanggar janji yang mereka ketahui dan menelantarkannya, maka Allah Ta’âlâ menjadikan mereka kehilangan dari sebagian ilmu yang mereka ketahui.

Tingkatan ketiga : Berjihad dalam mendakwahkan ilmu tersebut.

Allah Jalla Sya`nuhu berfirman,

“Dan andaikata Kami menghendaki, benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul). Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur`an dengan jihad yang besar.” (QS. Al-Furqân : 51-52)

Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj : 78)

Dua ayat di atas tertera dalam dua surah yang keduanya adalah surah Makkiyah. Dan telah kita ketahui bersama bahwa jihad melawan orang kafir secara fisik disyari’atkan di Madinah, maka tentunya perintah jihad di sini adalah perintah jihad dengan hujjah, dakwah, penjelasan dan penyampaian Al-Qur’an. [4]

Kemudian berdakwah di jalan Allah tentunya harus dengan ilmu dan bashirah, sebagaimana perintah Allah kepada Rasul-Nya,

“Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.” (QS. Yûsuf : 108)

Tingkatan Keempat : Jihad dalam menyabarkan diri ketika mendapat cobaan dalam menjalani tingkatan-tingkatan di atas.

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ mengingatkan dalam firman-Nya yang mulia,

“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-‘Ankabût : 1-3)

2. Jihâdusy Syaithân (Jihad melawan syaithân)

Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya yang agung,

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagi kalian, maka jadikanlah ia sebagai musuh (kalian), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fâthir : 6)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullâh berkata : “Perintah (Allah) untuk menjadikan syaithân sebagai musuh merupakan peringatan (akan harusnya) mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi dan berjihad melawan (syaithân). Karena ia laksana musuh yang tidak kenal letih, dan tidak pernah kurang memerangi seorang hamba dalam selang beberapa (tarikan) nafas.” [5]

Kemudian syaithân memerangi manusia untuk merusak agama dan ibadah mereka kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dengan dua cara :

Pertama : Melemparkan berbagai keraguan dan syubhat yang membahayakan keimanan seorang hamba.

Keraguan yang dilemparkan oleh syaithân ini kadang berbentuk keraguan dalam Dzat Allah Ta’âlâ sebagaimana dalam hadits Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam,

يَأْتِي الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُوْلُ : مَنْ خَلَقَ كَذَا وَكَذَا ؟. حَتَّى يَقُوْلَ لَهُ : مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ ؟. فَإِذَا بَلَغَ ذَلِكَ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللهِ وَلْيَنْتَهِ

“Syaithân datang kepada salah seorang dari kalian lalu berkata : “Siapa yang menciptakan ini dan itu ?”, sampai ia berkata : “Siapa yang menciptakan Rabbmu?”. Maka apabila ia telah sampai kepada hal tersebut, hendaknya ia berlindung kepada Allah dan berhenti.” [6]

Dan target utama syaithân adalah menanamkan keraguan dalam masalah aqidah (keyakinan) dan terkadang juga dalam perkara ibadah, mu’âmalât, dan sebagainya.

Kedua : Memberikan kepadanya berbagai keinginan syahwat sehingga manusia mengikuti hawa nafsunya, walaupun dalam bermaksiat kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.

Allah Jalla Jalâluhu menjelaskan hal tersebut dalam firman-Nya,

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang melalaikan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam : 59)

Maka menghadapi syaithân dengan dua serangannya di atas merupakan dua tingkatan jihad dalam hal ini. Untuk itu, manusia perlu mempersiapkan dua senjata dalam dua tingkatan jihad tersebut guna mengobarkan peperangan menghadapi syaithân yang durjana.

Dua senjata tersebut bisa kita ambil dari firman-Nya,

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajadah : 24)

Dalam ayat di atas, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ mengabarkan bahwa kepemimpinan dalam agama bisa dicapai dengan dua perkara :

1. Dengan kesabaran, yang mana kesabaran ini merupakan senjata ampuh untuk menangkis berbagai macam keinginan syahwat yang dilontarkan oleh syaithân.

2. Dengan keyakinan, yang mana keyakinan ini adalah senjata yang paling kuat guna menghancurkan berbagai macam keraguan dan syubhat yang disusupkan oleh syaithân. Tidaklah seseorang sampai ke derajat yakin kepada ayat-ayat Allah kecuali setelah ia berilmu, mempelajari dan menelaahnya.

Setelah kita mengetahui hal di atas, maka akan menjadi jelas bagi kita bersama eratnya hubungan jihad memerangi syaithân ini dengan Jihâdun Nafs. Wallâhul muwaffiq.

3. Jihâdul Kuffâr wal Munâfiqîn (Jihad melawan orang-orang kafir dan kaum munâfiqîn)

Jihad melawan orang-orang kafir termasuk jihad yang paling banyak disebutkan dalam nash-nash Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Dan jihad terhadap kaum munâfiqîn adalah memerangi orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekufuran di dalam hatinya. Jihâdul munâfiqîn ini tidak kalah pentingnya dari jihad-jihad yang disebutkan sebelumnya karena terlalu banyak orang yang ingin menghancurkan Islam dari dalam, dengan merusak, memutarbalikkan ajaran Islam atau menjadikan kaum muslimin ragu terhadap Dien mereka yang mulia.

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.”(QS. At-Taubah : 73, At-Tahrîm : 9)

Berjihad menghadapi mereka dengan empat tingkatan :

1. Memerangi mereka dengan menanamkan kebencian di dalam hati terhadap perilaku, kesewenang-wenangan mereka dan sikap mereka yang menodai kemuliaan syari’at Allah Azzat ‘Azhomatuhu.

2. Memerangi mereka dengan lisan dalam bentuk menjelaskan kesesatan mereka dan menjauhkan mereka dari kaum muslimin.

3. Memerangi mereka dengan menginfakkan harta dalam mendukung kegiatan-kegiatan untuk mematahkan segala makar jahat dan permusuhan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin.

4. Memerangi mereka dalam arti yang sebenarnya, yaitu dengan membunuh mereka kalau terpenuhi syarat-syarat yang disebutkan oleh para ulama dalam perkara tersebut.

4. Jihâd Arbâbuzh Zholmi wal Bida’ wal Munkarât (Jihad menghadapi orang-orang zholim, ahli bid’ah, dan pelaku kemungkaran)

Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa jihad dengan jenis ini mempunyai tiga tingkatan :

1. Berjihad dengan tangan. Dan ini bagi siapa yang mempunyai kemampuan untuk merubah dengan tangannya, sesuai dengan batas kemampuan yang Allah berikan kepada mereka.
2. Berjihad dengan lisan (nasehat). Dan hal ini juga bagi siapa yang punya kemampuan merubah dengan lisannya.
3. Berjihad dengan hati. Yaitu mengingkari kezholiman, bid’ah dan kemungkaran yang ia lihat bila ia tidak mampu merubahnya dengan tangan atau lisannya.

Diantara dalil untuk tiga tingkatan di atas adalah hadits Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata : saya mendengar Rasulullâh shollallâhu ‘alahi wa sallam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ

“Siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka hendakkah dia mengubah dengan tangannya, jika dia tidak mampu, maka dengan lisannya, jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya keimanan.” [7]

Demikian tiga tingkatan jihad dalam maknanya yang umum. Dan menurut Ibnul Qayyim rahimahullâh, tiga belas tingkatan di atas semuanya tercakup dalam hadits Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam,

مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِهِ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ

“Siapa yang mati, dan belum berjihad, dan tidak mencita-citakan dirinya untuk hal tersebut, maka ia mati di atas suatu cabang kemunafikan.” [8]

Kemudian kami ingatkan disini, bahwa keterangan-keterangan di atas adalah bantahan terhadap mereka yang membatasi jihad hanya dalam Jihâdun Nafs dan Jihâdusy Syaithân atau mereka yang menganggap bahwa dua jihad inilah yang merupakan jihad terbesar dan mengecilkan makna jihad yang lainnya. Harus kami tegaskan disini, bahwa jihad dengan seluruh pembagian dan tingkatan-tingkatannya di atas, semuanya adalah penting dalam syari’at, dan kadang sebahagiannya lebih penting dari sebahagian yang lainnya pada kondisi, keadaan, atau waktu tertentu.

Adapun yang laris dikalangan banyak penceramah, khatib jum’at dan masyarakat umum bahwa Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam berucap ketika kembali dari perang Tabuk dengan konteks :

رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ جِهَادُِ النَّفْسِ

“Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar (yaitu) melawan diri sendiri”.

Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahulläh berkomentar tentang hadits di atas dalam Majmû’ Al-Fatâwâ 11/197, “La ashla lahu [9] (hadits tidak asalnya), dan tidak seorangpun dari Ahlul Ma’rifah (orang-orang yang punya pengetahuan) terhadap ucapan-ucapan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam dan perbuatannya yang meriwayatkannya. Dan jihad (melawan) orang kafir adalah termasuk amalan yang paling agung bahkan ia seutama-utama yang seorang insan bertathawu’ (beribadah sunnah) dengannya…”.

Hal yang serupa dikemukakan oleh Syaikh Muhammad ‘Amr bin ‘Abdul Lathîf hafizhohulläh dalam Tabyîdh Ash-Shohîfah Bi Ushûl Al-Ahâdîts Adh-Dho’îfah hal 76 hadits no. 25.

Dan asal hadits di atas adalah ucapan Ibrahim bin Abi ‘Ublah (w. 152 H) sebagaimana dalam biografi beliau dari kitab Tahdzîbul Kamâl karya Al-Hâfizh Al-Mizzy (w. 742 H) dan Siyar A’lâm An-Nubalâ` karya Al-Hâfizh Adz-Dzahaby (w. 748 H). Berkata Al-Hâfizh Ibnu Hajar dalam Tasdîdul Qaus sebagaimana dalam Kasyful Khafâ` 1/434-435/1362 karya Al-‘Ajlûny (w. 1162 H), “Ia (hadits ini) adalah masyhur pada lisan-lisan manusia dan ia adalah dari ucapan Ibrahim bin Abi ‘Ublah dalam Al-Kunâ karya An-Nasâ`i (w. 303 H).”

Dan Syaikh Muhammad ‘Amr bin ‘Abdul Lathif menyebutkan bahwa perkataan Ibrahim bin Abi ‘Ublah diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asâkir dari jalan An-Nasâ`i dan beliau menghasankan sanadnya.

Adapun konteks yang termaktub dalam buku-buku hadits, adalah dengan konteks lain. Berkata Ibnu Rajab (w. 795 H) dalam Jâmi’ul ‘Ulûm Wal Hikam hal. 369 (Tahqîq Thôriq bin ‘Iwadhullah) : “Ini diriwayatkan secara marfû’ dari hadits Jâbir dengan sanad yang lemah, dan lafazhnya :

قَدِمْتُمْ مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ قَالُوْا وَمَا الْجِهَادُ الْأَكْبَرُ قَالَ مُجَاهَدَةُ الْعَبْدِ لِهَوَاهُ

“Kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar. (Mereka) berkata : “Apakah jihad besar itu ?”. beliau menjawab : “Jihadnya seorang hamba melawan hawa nafsunya”.”

Dan Syaikh Al-Albâny (w. 1420 H) rahimahullâh menyebutkan hadits di atas dalam Silsilah Ahâdîts Adh-Dha’îfah no. 2460 dan memberikan vonis terhadap hadits tersebut sebagai hadits “Mungkar”. [10]

[1] Baca : Zâdul Ma’âd 3/5-9.

[2] Hadits riwayat Ibnul Mubarak dalam Musnad-nya no. 29, dan dalam Al-Jihad no. 175, serta dalam Az-Zuhd no.141 dan 826, Ahmad 6/20, 21, 22, At-Tirmidzy no. 1621, Ibnu Abi ‘Âshim dalam Al-Jihâd no. 14, Ibnu Nashr Al-Marwazy dalam Ta’zhîm Qadrish Sholât no. 640-641, Ibnu Hibbân no. 4623, 4706 dan 4862, Al-Hâkim 1/54, Al-Baihaqy dalam Syu’abil Îmân no. 11123, Ibnu Mandah dalam Al-Îmân no. 315, Ath-Thabarâny no. 796, Al-Qodhô’iy dalam Musnadusy Syihâb no. 131, 183 dan 184 dan As-Sahmy dalam Târîkh Jurjân hal. 201. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullâh dalam Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shohîhah no. 549 dan Syaikh Muqbil rahimahullâh dalam Ash-Shohîh Al-Musnad 2/156.

[3] Hadits hasan dari seluruh jalan-jalannya. As-Suyûthi punya risalah tersendiri (diterbitkan oleh Dar ‘Ammar, cet. Pertama, tahun 1988M/1408H) seputar jalan-jalan hadits ini, dimana beliau menyebutkan hampir 50 jalan bagi hadits di atas. Dan beliau menyebutkan bahwa Al-Hâfizh Al-Mizzi menghasankannya. Demikian pula disetujuai keabsahannya oleh Syaikh Al-Albani dalam ta’lîq beliau terhadap Hidâyatur Ruwâh Ilâ Takhrîj Ahâdîts Al-Mashôbîh Wa Al-Misykâh 1/153-154 dan Syaikh Muqbil Al-Wâdi’iy –sebagaimana yang kami dengar langsung dari beliau-.

[4] Lihat Zâdul Ma’âd 3/5.

[5] Baca : Zâdul Ma’âd 3/6.

[6] Hadits riwayat Al-Bukhâry no. 3276, Muslim no. 134, Abu Daud no. 4721 dan An-Nasâ`i dalam Amalul Yaum wal Lailah no. 663 dari hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.

[7] Hadits riwayat Muslim no. 49, Abu Dâud no. 1140, 4340, At-Tirmidzy no. 2177, An-Nasâ`i 8/11-112 dan Ibnu Mâjah no. 1275, 4013.

[8] Hadits riwayat Muslim no. 1910, Abu Daud no. 2502 dan An-Nasa`i 6/7.

[9] Kata Lâ ashla lahu dalam istilah ulama hadits, digunakan pada tiga makna :

* Tidak punya sanad sama sekali.

* Tidak mempunyai asal secara marfû’ dari ucapan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam, tetapi mungkin mempunyai asal dari ucapan selain beliau.

* Tidak punya asal dalam hadits yang shohîh, tetapi mungkin ada asalnya dari jalan hadits yang lemah yang tidak bisa saling menguatkan.

[10] Dan dari uraian Al-Albâny diketahui bahwa hadits ini dikeluarkan oleh Abu Bakr Asy-Syafi’iy dalam Al-Fawâ`id Al-Muntaqôh, Al-Baihaqy dalam Az-Zuhd, Al-Khatîb dalam Târîkh-nya dan Ibnul Jauzy dalam Dzammul Hawâ`, dan juga dipahami dari keterangan beliau bahwa selain dari Ibnu Rajab, hadits ini juga dilemahkan oleh Al-Baihaqy, Al-‘Irâqy dalam Takhrîjul Ihyâ` dan Al-Hâfizh Ibnu Hajar dalam Takhrîjul Kasysyâf. Wallâhu Ta’âlâ A’lam.

(http://jihadbukankenistaan.com/menyelami-jihad/pembagian-jihad.html)

0 komentar:

Posting Komentar