بسم الله الرحمن الرحم
NEW YORK, MARET 2008
Katherine adalah seorang Amerika keturunan Spanyol, ayahnya seorang pengusaha dan aktivis Yahudi. Begitu pula mamanya. Tapi ia lebih memilih Islam.
Siang itu the Islamic Cultural Center of New York agak sepi. Beberapa jamaah shalat zuhur sudah berdatangan, tapi adzan sendiri belum dikumandangkan. Saya masih menanda tangani beberapa berkas perkawinan untuk dikirimkan ke City Hall untuk mendapatkan “marriage certificate” bagi pasangan yang baru saja melangsungkan pernikahan di Islamic Center.
Tiba-tiba telpon saya berdering dan di seberang sana ada suara resepsionis menyampaikan bahwa ada seorang wanita yang ingin ketemu dengan saya. “Who is she?”, Tanya saya. “Probably she wants to know about Islam,” jawabnya singkat.
“Let her sit in the conference room,” pintaku.
Saya kemudian segera menyelesaikan menandatangani berkas-berkas perkawinan itu, lalu menuju ruang rapat. Di sana sudah menunggu seorang gadis yang masih relative muda berambut pirang. Nampak seperti asli Eropa. Dengan ramah, saya mengucapkan “selamat siang!”. “Morning sir!”, jawabnya singkat. Rupanya memang belum siang karena jam masih menujukkan pukul 11:53 pagi.
“How are, and what I can do for you?”, Tanya saya memulai percakapan siang itu.
“Hi, I am sorry that I am coming without an appointment?”, katanya singkat.
“Oh no, not at all! You don’t need to take an appointment to come to our mosque,” jawab saya.
Dia kemudian seperti menarik napas, memperkenalkan dirirnya “my name is Jordie!”. Dia kemudian bercerita panjang. Dia mulai mengatakan bahwa orang tuanya adalah petinggi agama Yahudi di kota New York . “My father is a businessman, and a board member of many Jewish congregation institutions or synagogues” , katanya terus terang.
Sejak tragedi 9/11 banyak masyarakat AS memeluk Islam termasuk wanita yahudi
Ibunya sendiri adalah seorang philanthropist, dan menurutnya menjadi kontributor besar pada acara-acara pengumpulan dana komunitas Yahudi. Juga anggota pada berbagai organisasi sosial dan wanita di kota New York .
“And so, what makes coming here today?”, pancingku.
Sekali lagi, dia bercerita panjang. Saya menangkap darinya bahwa dia adalah seorang gadis “brilliant” dan pemberani. “I am a graduate student at the NYU”, and also a Jewish activist”, katanya.
Dia menceritakan bagaimana kegiatannya di kampus, termasuk kegiatan-kegiatannya dengan kelompok agama lain, termasuk dengan pelajar Muslim. Salah satu yang selalu dia ingat adalah ketika kelompok mahasiswa Yahudi dan Muslim melakukan kerjasama bakti sosial di New Orleans setelah terjadi musibah badai Katherina ketika itu. “I really enjoyed the accompany of my Muslim friends at that time”, jelasnya.
“Are U still connected with your Muslim friends?” tanyaku.
“Yes, in fact I learned a lot from them about Islam”, jawabnya.
“And so, who direct you to come to the Center?” tanyaku lagi.
Dia kemudian menjelaskan bahwa salah seorang teman kelasnya, sama-sama mengambil sosiology, bernama Katherine. Saya bercanda, asal bukan Katherine temannya “hurricane?” (badai).
Ternyata Katherine adalah seorang Amerika keturunan Spanyol, masih non-Muslim dan saat ini belajar di Islamic Forum for non Muslims. Setelah mereka berdua terlibat perbincangan tentang Islam, dan keduanya banyak merasakan nilai positif dari agama ini, Katherine menganjurkan kepadanya untuk menemui engkau. “She is a big fan of you”, candanya.
“Oh no! I am just a regular guy, employed by this Center”, kata saya.
Saya kemudian menanyakan beberapa hal tentang agamanya, Yahudi. Setiap kali menyebutkan konsep-konsep ketuhanan, saya menimpali dengan ayat-ayat Al Quran. “Really? That's amazing!”, serunya.
Dia belum pernah membayangkan betapa Islam dan Yahudi hampir mirip dalam konsep ketuhanan. Sehingga setiap kali ada poin yang dikemukakan mengenai Tuhan, saya cuma membacakan ayat-ayat dari Al-Quran.
Saya katakan, Al-Quran itu salah satunya berfungsi sebagai “musoddiqan” (untuk menegaskan kitab-kitab suci sebelumnya.
Setelah berputar-putar dengan berbagai konsep ketuhanan, kami kemudian mendikusikan hubungan Ibrahim dengan kedua anaknya. Dalam benak dia, memang Ishak itu memiliki status sebagai Nabi, tapi Ismail tidak diangkat sebagai Nabi Tuhan. Diskusi cukup inten dan hangat, bahkan sesekali terlibat perdebatan yang dalam.
Alhamdulillah, pada akhirnya setelah kita sama-sama merujuk ke Kitab Suci tentang para Nabi, dia mengakui bahwa memang ada sikap “prejudice” (curiga) dan diskriminatif dalam ajaran Yahudi. Bahwa yang mulia dalam konsep Yahudi hanya satu kelompok manusia yang digelari “Israelis” (Israelites). Manusia lain tidak terhormat, dan seharusnya menjadi hamba-hamba Israel .
Tanpa terasa adzan zuhur dikumandangkan. Kami berhenti sejenak. Tapi tiba-tiba Jordie nampak tersenyum dan mengatakan, “Jujur saja, Islam adalah yang benar!”, akunya.
“Saya sudah aktif di sinagog semenjak masih kecil, tetapi saya tidak pernah melihat satupun orang berkulit non-putih datang ke sinagog, jelasnya".
“If Judaism is really God’s religion, why it has to discriminate people on the basis of races?”, tanyanya.
Tanpa terasa, Jordie mempertanyakan berbagai hal mengenai agamnya.
“Jordie, how do you see the Prophets of God?” tanyaku.
“They must be the best people to receive and convey the revelation. Not only to convey, but they themselves lived by the revelation”, jelasnya.
Saya kemudian menjelaskan berbagai tuduhan Taurah terhadap Nabi-nabi Allah, termasuk Daud, Sulaeman, dll. Saya katakan, dalam Al-Quran tidak satupun Nabi dikisahkan dengan kisah-kisah yang menyakitkan. Justru para nabi itu adalah orang-orang yang berjuang untuk meluruskan prilaku manusia. “Is it rational that the Prophet David slept with his neighbor’s wife, and plotted to kill him?”, tanyaku.
“Of course, not”, jawabnya.
“But Sister, it is there in Torah!”, jelasku.
Sejenak, nampak Jordie diam, memandang ke saya seperti terheran-heran.
“So, what do you think?”, tanyaku.
“Wow, I read those, but never realized that it’s so bad!” akunya.
Saya kemudian menjelaskan bahwa memang terkadang kita membaca Kitab Suci kita dan “we take it for granted”. Seolah semua sudah diterima begitu saja, dan tidak ada lagi keinginan untuk menyelami dan memahaminya. Selain karena sudah diterima sebagai “keyakinan” dan sudah menjadi “dogma”, juga karena keberagamaan kita bersifat turunan.
Jordie terdiam. Tiba-tiba saja dia angkat kepala dan tersenyum “Wow, I really did not realized that I have been trapped in that” (ikut membuta).
“So what do you think about Islam?” saya memancing kembali.
Dengan sedikit pelan dia mengatakan “I think this is the true religion”. Kali ini sepertinya dia tidak seagresif sebelumnya.
“Jordie, can I ask you something?” tanyaku.
“We are in the winter. You know what kind of cloth we need. If you have only on you, and in front of you a thick jacket, will you stay frozen or will you take the jacket to cover your self?”, tanyaku.
“Of course I must take the jacket”, jawabnya singkat.
“I know you have your religion. But your religion does not fit to save you, Jordie. Here Islam, the religion you believe as the true religion is to save you. Would you like to take it?”, tanyaku.
Dengan sedikit pelan, nampak agak ragu, tapi kemudian dengan tegas mengatakan “yes”.
Alhamdulillah! Tanpa saya sadari saya ucapkan itu. Rupanya Jordie juga sudah tahu betul tradisi itu.
Saya meminta agar Jordie berwudhu. Ditemani oleh seorang jamaah wanita Jordie mengambil wudhu, dan sebelum shalat dimulai (iqamah), Jordie yang nama akhirnya “Rosenbaum” itu saya bimbing mengikrarkan: “Laa ilaaha illa Allah-Muhammadan Rasul Allah.”
Pekik takbir para jamaah dilanjutkan dengan iqamah, dan Jordie pun memulai shalatnya yang pertama kali. Allahu Akbar!
Note: Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. Syamsi adalah penulis rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com
0 komentar:
Posting Komentar