بسم الله الرحمن الرحم
Oleh : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ahlus Sunnah menganggap shalat berjama’ah di belakang imam baik yang shalih maupun yang fasik dari kaum Muslimin adalah sah. Dan menshalatkan siapa saja yang meninggal di antara mereka[1]
Dalam Shahiihul Bukhari [2] disebutkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah shalat dengan bermakmum kepada al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Padahal al-Hajjaj adalah orang yang fasik dan bengis[3] ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma adalah seorang Sahabat yang sangat hati-hati dalam menjaga dan mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan al-Hajjaj bin Yusuf adalah orang yang terkenal paling fasik. Demikian juga yang pernah dilakukan Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu yang bermakmum kepada al-Hajjaj bin Yusuf. Begitu juga yang pernah dilakukan oleh beberapa Sahabat Radhiyallahu ‘anhum, yaitu shalat di belakang al-Walid bin Abi Mu’aith.[4]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.
“Mereka shalat mengimami kalian. Apabila mereka benar, kalian dan mereka mendapatkan pahala. Apabila mereka keliru, kalian mendapat pahala sedangkan mereka mendapat dosa.”[5]
Imam Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullah pernah ditanya tentang boleh atau tidaknya shalat di belakang ahlul bid’ah, beliau menjawab: “Shalatlah di belakangnya dan ia yang menanggung dosa bid’ahnya.” Imam al-Bukhari memberikan bab tentang per-kataan Hasan al-Bashri dalam Shahiihnya (bab Imamatul Maftuun wal Mubtadi’ dalam Kitaabul Aadzaan).
Ketahuilah bahwasanya seseorang boleh shalat bermakmum kepada orang yang tidak dia ketahui bahwa ia memiliki kebid’ahan atau kefasikan berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ahli bid’ah maupun pelaku maksiyat, pada asalnya shalatnya adalah sah. Apabila seseorang shalat bermakmum kepadanya, shalatnya tidak menjadi batal. Namun ada ulama yang meng-anggapnya makruh. Karena amar ma’ruf nahi munkar itu wajib hukumnya. Di antaranya bahwa orang yang menampakkan ke-bid’ahan dan kefasikannya, jangan sampai ia menjadi imam rutin (rawatib) bagi kaum Muslimin.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Bahwa shalat di belakang orang yang fasik dan pemimpin yang zhalim, sah shalatnya. Sahabat-sahabat kami telah berkata: ‘Shalat di belakang orang fasik itu sah tidak haram akan tetapi makruh, demikian juga di-makruhkan shalat di belakang ahli bid’ah yang bid’ahnya tidak sampai kepada tingkat kufur (bid’ahnya tidak menjadikan ia keluar dari Islam). Tetapi bila bid’ahnya adalah bid’ah yang menyebabkan ia keluar dari Islam, maka shalat di belakangnya tidak sah, sebagaimana shalat di belakang orang kafir.’ Dan Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyebutkan dalam al-Mukhtashar bahwa makruh hukumnya shalat di belakang orang fasiq dan ahlu bid’ah, kalau dikerjakan juga, maka shalatnya tetap sah, dan inilah pendapat jumhur ulama.” [6]
Menshalatkan seorang Muslim yang meninggal dunia hukum-nya fardhu kifayah, tetapi apabila seorang Muslim tersebut adalah ahlul bid’ah dan pelaku maksiyat, maka para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Menurut pendapat jumhur ulama, dia boleh dishalatkan. Dalam hal ini dikecualikan para pemberontak, perampok, munafiq, dan orang yang mati bunuh diri. Sebagai pelajaran bagi yang lainnya, adapun orang munafiq, tidak boleh dishalatkan dengan dasar firman Allah al-Hakiim:
"Dan janganlah sekali-kali kamu menshalati (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (men-do’akan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” [At-Taubah : 84] [7]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Safi'i, Cetakan Ketiga. PO Box 7803/JACC 13340]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 529) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki.
[2]. Shahiihul Bukhari (no. 1660, 1662, 1663).
[3]. Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi seorang amir yang zhalim, dia menjadi amir di Irak selama 20 tahun, dan dialah yang membunuh ‘Abdullah bin Zubair bin ‘Awam di Makkah. Hajjaj mati tahun 95 H. Lihat Taqriibut Tahdziib (I/190, no. 1144) dan Tahdziibut Tahdziib (II/184-186), oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
[4]. Lihat Shahiih Muslim (no. 1707).
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 694) dan Ahmad (II/355, 537), dari Abu Hurairah
[6]. Diringkas dari al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab (IV/253) oleh Imam Nawawi, cet. Daarul Fikr.
[7]. Lihat pembahasan ini dalam Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 529-537) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki, Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Ahwaa’ wal Bida’ (hal. 343-371), al-Imaamah fish Shalaah fii Dhau-il Kitaab was Sunnah (hal. 42-48) oleh Dr. Sa’id bin Wahf al-Qahthani.
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2026/slash/0