بسم الله الرحمن الرحم
Penulis: Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-’Utsaimin
Bolehkah ayah dan ibu mengajarkan hafalan Al-Qur’an kepada anak mereka yang masih kecil, sementara keduanya tahu si anak terkadang melantunkan surat yang dihafalnya di kamar mandi saat buang hajat, atau si anak membacanya dengan cara yang tidak pantas (terhadap Al-Qur’anul Karim), dalam keadaan si anak telah berulang kali diperingatkan?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menjawab, “Iya, sepantasnya ayah dan ibu membacakan Al-Qur’anul Karim kepada anak mereka agar si anak menghafalnya dan keduanya memperingatkan si anak agar tidak membaca Al-Qur’an di tempat yang tidak sepantasnya. Kalau toh anak-anak tetap melakukannya maka mereka belum mukallaf (belum dibebani syariat, belum terkena perintah dan larangan, pen.). Mereka tidak berdosa. Ketika ayah atau ibu mendengar si anak membacanya di tempat yang tidak layak, hendaknya menerangkan bahwa hal itu tidak boleh.
Anak kecil harus dihasung untuk banyak menghafal Al-Qur’an. Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari tentang ‘Amr ibnu Salamah Al-Jarmi1 yang menjadi imam bagi kaumnya, padahal usianya baru enam atau tujuh tahun. Dan itu terjadi di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 151)
1 ‘Amr bin Salamah menuturkan kelengkapan kisahnya: Kami bermukim di dekat sebuah mata air yang biasa dilewati orang-orang. Suatu ketika serombongan musafir yang berkendaraan melewati kami. Kami pun bertanya kepada mereka, “Bagaimana kabarnya orang-orang? Ada apa dengan mereka? Bagaimana dengan lelaki yang sedang ramai pemberitaannya?” Mereka menjawab, “Lelaki itu mengaku Allah-lah yang mengutusnya dan memberi wahyu kepadanya. Allah mewahyukan kepadanya ini dan itu (dengan membacakan wahyu Al-Qur’an yang mereka maksud).” Aku pun menghafal wahyu berupa ayat-ayat Al-Qur’an tersebut seakan-akan menempel dalam dadaku. Sementara itu kabilah-kabilah Arab menunda keislaman mereka sampai Fathu Makkah. Mereka mengatakan, “Biarkan dia dan kaumnya. Bila dia menang atas kaumnya berarti memang dia nabi yang benar.” Tatkala terjadi Fathu Makkah, setiap kaum bersegera masuk Islam. Ayahku mendahului kaumku dalam berislam. Saat ayahku datang dari menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Demi Allah! Aku datang kepada kalian dari sisi nabi yang haq (benar-benar seorang nabi). Nabi itu berkata, “Shalatlah kalian shalat ini di waktu itu dan shalat itu di waktu ini. Apabila datang waktu shalat, hendaklah salah seorang dari kalian menyerukan adzan dan hendaknya orang yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya mengimami kalian.” Mereka pun melihat siapa yang paling banyak hafalannya. Ternyata tidak ada seorang pun dari kaumku yang paling banyak hafalannya melainkan aku, karena sebelumnya aku mendapatkannya dari rombongan musafir. Kaumku pun memajukan aku di hadapan mereka untuk mengimami mereka, padahal saat itu usiaku masih enam atau tujuh tahun. Saat mengimami mereka aku mengenakan pakaian yang pendek. Bila aku sujud, pakaian itu terangkat dari bagian bawah tubuhku. Seorang wanita dari kampung (yang ikut shalat bersama jamaah) lalu berkata, “Tidakkah kalian menutupkan dari kami pantat pembaca Al-Qur’an kalian itu?” Kaumku lalu membelikan untukku pakaian dan mereka pakaikan kepadaku. Tidaklah aku bergembira memperoleh sesuatu sebagaimana gembiraku mendapat pakaian tersebut.” (HR. Al-Bukhari) –pen.
Anak Kecil Lewat di Depan Orang Shalat
Apakah seorang ibu harus menahan anaknya yang masih kecil lewat di hadapannya saat ia sedang shalat, padahal itu terjadi berulang-ulang di tengah shalat? Tentunya berulang-ulangnya mencegah si anak lewat dapat menghilangkan kekhusyukan dalam shalat. Sementara jika si ibu shalat sendirian tanpa menempatkan si anak di dekatnya, si ibu (tentu) mengkhawatirkan anaknya (karena tidak ada yang menjaganya).
Jawab:
Syaikh yang mulia, Muhammad ibnu Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu kembali menjawab, “Tidak ada dosa bagi si ibu membiarkan anaknya lewat di hadapannya bila memang si anak sering lalu lalang dan si ibu sendiri khawatir shalatnya terganggu bila terus-menerus mencegah si anak, sebagaimana hal ini dikatakan ahlul ilmi rahimahumullah. Akan tetapi, sepantasnya ketika si ibu hendak shalat, hendaknya memberikan sesuatu kepada anaknya yang bisa dijadikannya sebagai mainan (sehingga si anak asyik dengan benda/mainan tersebut, pen.) sementara si anak berada di sekitar/dekat dengan ibunya. Karena bila seorang anak diberi sesuatu yang bisa dijadikannya sebagai mainan, biasanya mainan itu membuatnya lupa terhadap yang lain. Namun bila si anak terus menggelayuti (nggendholi, Jw.) ibunya karena merasa lapar atau haus, yang lebih utama si ibu menunda shalatnya hingga ia selesai menunaikan kebutuhan anaknya (menyuapi makan atau memberi minum). Setelah itu ia menghadapkan dirinya kepada amalan shalatnya.” (Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 151-152)
Wanita Keluar Rumah Ikut Suaminya Berdakwah
Ada sekelompok orang dari kalangan da’i biasa keluar berdakwah ke kota lain di waktu-waktu tertentu. Safar dakwahnya tersebut terkadang sampai berhari-hari atau sampai sepekan. Mereka mengajarkan kaum muslimin tentang perkara agama mereka, di mana kaum lelakinya bermajelis di salah satu masjid sedangkan para wanitanya mendengarkan ta’lim dengan bermajelis di rumah salah seorang mereka. Apakah disenangi bagi wanita ikut keluar berdakwah (menyertai suaminya)? Padahal dengan keluarnya tersebut, ia harus meninggalkan anak-anaknya dengan dititipkan pada salah seorang kerabatnya?
Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz rahimahullahu menjawab pertanyaan yang senada dengan soal di atas. Kata beliau, “Bila mereka yang keluar berdakwah tersebut memiliki ilmu seperti yang ditunjukkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah tentang perkara tauhid dan hukum-hukum syariah yang lain, maka apa yang mereka lakukan itu sangat bagus. Sama saja, apakah waktu safar dakwahnya itu singkat ataupun lama, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (mengajak manusia) kepada Allah dan mengerjakan amal shalih serta berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Fushshilat: 33)
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Ajaklah manusia kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah (ya Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak manusia kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang musyrik.” (Yusuf: 108)
Juga berdasar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَوَاللهِ، لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيرٌ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Maka Demi Allah! Bila Allah memberi hidayah lewat dirimu satu orang saja, maka itu lebih baik bagimu daripada engkau memiliki unta merah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus para da’i illallah (yang menyeru kepada jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala) ke negeri Yaman dan kepada mayoritas kabilah Arab. Tidak ada larangan bila orang yang berdakwah tersebut menyertakan istrinya. Wallahu waliyyut taufiq.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 9/296)
0 komentar:
Posting Komentar