Bulan Muharram, Antara Sunnah dan Bid'ah

بسم الله الرحمن الرحم


Fadhilatus Syaikh Doktor Abu Abdil Mu'iz Muhammad Ali Firkous Hafizhahullah Ta'ala

الحمد لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على مَن أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدِّين، أمَّا بعد:

Sesungguhnya termasuk kemuliaan bulan pertama (Muharram) dari bulan-bulan Qomariyyah lainnya adalah penyandaran Nabi Shallallahu Alaihi wasallam bulan ini kepada Rabb-nya, dan Beliau menyebutkan sifat ini dalam sabda Beliau Shallallahu Alaihi wasallam:

«أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمِ»(١- أخرجه مسلم كتاب «الصيام»: (1/520)، رقم: (1163)، وأبو داود كتاب «الصوم»، باب في صوم المحرم: (2429)، والترمذي كتاب «الصلاة»، باب ما جاء في فضل صلاة الليل: (438)، وأحمد في «مسنده»: (2/344)، من حديث أبي هريرة رضي الله عنه.)

"Puasa yang paling utama setelah ramadhan adalah bulan Allah (Al-Muharram)."

(Dikeluarkan Muslim, kitab Ash-Shiyam:1/520, No:1163. Abu Dawud kitab Ash-Shaum Bab: Shaumul Muharram, No:2429. At-Tirmidzi kitab Ash-Shalah bab : ma jaa fifadhli shalaatil lail :438, Ahmad dalam musnadnya (2/344), dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Merupakan hal yang telah dimaklumi bahwa Allah tidak menyandarkan kepadanya kecuali makhluk-makhluknya yang memiliki kekhususan sebagai bentuk keutamaan dan kemuliaan.

Berkata As-Suyuthi rahimahullah :

“Aku ditanya: mengapa dikhususkan bulan Muharram dengan ucapan mereka "bulan Allah Tabaraka wa Ta'ala" tanpa bulan lain, padahal diantara bulan tersebut ada yang menyamainya dalam hal keutamaan atau melebihinya seperti bulan ramadhan?

Maka Akupun mendapati jawabannya adalah :

Bahwa nama ini merupakan nama islamnya bulan ini berbeda dengan bulan-bulan lainnya dizaman jahiliyyah. Nama bulan Muharram dimasa jahiliyyah adalah shafar awal, lalu yang berikutnya disebut shafar tsani. Tatkala islam datang, Allah memberinya nama Muharram. Maka disandarkan kepada-Nya karena sebab ini. Ini merupakan faedah berharga yang aku lihat dalam "al-jamharah".

(Ad-Dibaj syarah shahih Muslimbin Al-Hajjaj,As-Suyuthi:3/352)

Dibenci menyebutkan bulan Muharram dengan sebutan Shafar, sebab hal itu merupakan kebiasaan jahiliyah, sebagaimana yang disebutkan An-Nawawi. (Al-Adzkar, An-Nawawi: 364)

Mungkin juga termasuk dari kebiasaan mereka bahwa mereka menyebut bulan Muharram dan Shafar secara bersamaan dengan lafazh Shafarain (dua bulan Shafar) sebagai penyebutan dominan, bukan karena Muharram sebagai nama yang baru muncul.

Berkata Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah:

Sesungguhnya nama "bulan muharram", pada zaman jahiliyyah disebut "shafar awal", dan penamaan Muharram merupakan istilah islam. Ini merupakan pendapat sebagian ahli bahasa, dan aku menyangka ada ketersamaran, sebab perubahan nama-nama yang bersifat umum akan menyebabkan pengkaburan yang tidak dikehendaki oleh syari'at. Bukankah kalian mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam bertanya pada saat berkhutbah di haji perpisahan (haji wada'):

hari apakah ini?

Perawi (yaitu sahabat Nufai' bin Al-Harits radhiallahu anhu berkata: kamipun diam sehingga kami menyangka bahwa Beliau akan menyebut nama yang bukan namanya .Maka Beliau berkata: bukankah ini bulan dzul hijjah? kami menjawab: benar. Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:


فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ

"sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram diantara kalian, seperti mulianya hari kalian ini, pada bulan kalian ini, pada negeri kalian ini….."

(dikeluarkan Bukhari kitab Al-ilmu, Bab: qaulun Nabi Shallallahu ALaihi Wa Aalihi Wasallam "rubba muballaghin au'a min sami')(1/25), Muslim kitab Al-Qasamah wal muharibin wal qishash (2/799), No:1679), dari hadits Abu Bakrah dan namanya: Nufai' bin Al-Harits radhiallahu anhu)

Lalu beliau menyebut disela-sela khutbah bulan-bulan haram dimana Beliau berkata: Dzulqa'dah, Dzulhijjah, dan Muharram, dan Rajab Mudhar yang terdapat antara Jumada dan Sya'ban. Kalaulah seandainya nama Muharram merupakan nama yang baru, tentunya Beliau akan menjelaskannya kepada orang-orang yang hadir yang datang dari berbagai daerah yang jauh, sebab kejadian seperti ini jika seandainya Beliau menyebutkannya (sebagai nama baru), tentu akan dinukil oleh manusia. Namun mereka menyebutkan bersama bulan Safar bersamanya dengan lafazh "shafarain" sekedar penyebutan dominasi."

(Mu'jam al-manahi al-lafzhiyyah, Bakr bin Abdillah Abu Zaid: 341-342, dengan sedikit perubahan).

Setelah mengetahui hal ini, maka perlu diketahui bahwa tidak ada nash yang syar'i yang shahih tentang awal bulan Allah Muharram yang menetapkan kekhususan dzikir dan do'a, umrah, dan berpuasa pada hari pertama pada awal tahun dengan niat membuka tahun hijriyyah dengan berpuasa, dan tidak pula menutup tahun dengan berpuasa dengan niat berpisah dengan tahun hijriyyah. Apa yang datang dari hadits-hadits tentang hal ini adalah palsu dan dibuat-buat atas nama Nabi Shallallahu Alaihi Wa aalihi wasallam, diantara hadits palsu adalah:

«من صام آخِرَ يومٍ من ذي الحجة وأول يوم من المحرَّم، ختم السنة الماضية وافتتح السنة المقبلة بصوم، جعل اللهُ له كفارة خمسين سنة»

"barangsiapa yang berpuasa pada akhir hari dibulan dzulhijjah dan awal hari bulan Muharram, dia menutup tahun yang lama dan membuka tahun baru dengan berpuasa, maka Allah akan menjadikan baginya penebus dosa selama limapuluh tahun."

(Lihat: Al-Lala'il mashnu'ah, As-Suyuthi: 2/108, Tanzih Asy-Syari'ah, Al-Kinani (2/148), Al-Fawaaid Al-majmu'ah, Asy-Syaukani:96)

Sebagaimana tidak shahih pula dalam syari'at menghidupkan awal hari dibulan muharram dengan shalat, dzikir dan do'a, atau yang semisalnya. Berkata Abu Syamah rahimahullah:

«ولم يأت شيءٌ في أول ليلةِ المحرَّم، وقد فتشت فيما نقل من الآثار صحيحًا وضعيفًا، وفي الأحاديث الموضوعة فلم أر أحدًا ذكر فيها شيئًا، وإني لأتخوَّف -والعياذ بالله- من مُفترٍ يختلق فيها»

"tidak ada satupun penjelasan tentang awal malam bulan muharram, sungguh aku telah memeriksa berbagai penukilan berupa atsar-atsar yang shahih maupun lemah, dan bahkan hadits-hadits yang palsu, saya tidak mendapati seorangpun menyebutkan satupun tentangnya, dan sesungguhnya aku khawatir –wal'iyadzu billah- berasal dari pendusta yang memalsukannya."
(Al-ba'its alaa inkar al-bida' wal hawadits, Abu Syamah:239)

Terdapat pula dibulan Muharram satu hari yang memiliki kedudukan yang mulia yaitu hari Asyura' yang penuh berkah, dan kemuliannya terpelihara sejak dulu kala, dimana Allah Ta'ala menyelamatkan Musa Alaihis salam bersama Bani Israil dari kezaliman Fir'aun dan bala tentaranya, dan Allah menenggelamkannya beserta kaumnya.

Telah disebutkan dalam dua kitab shahih (Bukhari dan Muslim,pen) dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam datang ke Madinah, lalu Beliau mendapati kaum Yahudi berpuasa dihari Asyura', lalu Beliau bertanya kepada mereka: hari apakah yang kalian berpuasa padanya? Mereka menjawab: ini adalah hari yang agung, Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir'aun dan kaumnya, maka Musa berpuasa padanya sebagai rasa syukur, dan kamipun berpuasa." Maka Nabi Shallallahu Alaihi Wa aalihi wasallam berkata: kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.",maka Beliaupun berpuasa dan memerintahkan (kaum Muslimin) untuk melakukannya."

(Dikeluarkan Bukhari, kitab Ash-Shiyam bab: Shiyam yaumi Asyura' (1/478), Muslim dalam kitab Ash-Shiyam (1/504), no:1130,dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma)

Termasuk keutamaannya bahwa berpuasa padanya menghapuskan kesalahan setahun yang lalu, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam :

«أَحْتَسِبُ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ»

"Aku berharap menghapus kesalahan setahun sebelumnya."

(Dikeluarkan Muslim kitab AshShiyam (1/519, no:1162),Abu Dawud kitab Ash-Shiyam bab: shaum Ad-Dahr tathawwu'an (2425), Ahmad dalam musnad (5/297), dari hadits Abu Qatadah Al-Anshari radhiallahu anhu)

Disukai pula berpuasa pada hari kesembilan, sebab ini merupakan akhir anjuran Nabi Shallallahu Alaihi wasallam dimana Beliau bersabda:

«لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ»

"jika aku masih hidup ditahun kemudian,niscaya aku akan berpuasa pada hari kesembilan."

(Dikeluarkan Muslim kitab Ash-Shiyam:1/505, no:1134, Ahmad dalam musnad (1/236), dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma)

Hal ini unuk menyelisihi kaum Yahudi yang mereka menyendirikan Asyura dalam berpuasa.

Diantara hukumnya adalah dihapusnya hukum wajib berpuasa pada hari Asyura menjadi sunnah, berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata:

"Nabi Shallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa, tatkala diwajibkan puasa ramadhan maka ditinggalkan (kewajiban) Asyura'"

(Dikeluarkan Bukhari kitab Ash-Shaum bab wujub shaum ramadhan (1/453), Ahmad dalam musnad (2/4), dari hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma)

Dalam hadits Aisyah radhiallahu anha disebutkan:

"tatkala diwajibkan ramadhan, Beliau meninggalkan (puasa) dihari Asyura, maka siapa yang ingin silahkan dia berpuasa dan siapa yang ingin maka silahkan ia meninggalkannya."

(Dikeluarkan Bukhari kitab Ash-Shaum bab: shayamu yaumi Asyura' (1/478), Muslim kitab Ash-Shiyam (1/501,no:1125),dari hadits Aisyah radhiallahu anha).

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah:"dan diketahui bahwa tidak ditinggalkan hukum anjurannya, bahkan hukum disukainya tetap ada, maka hal ini menunjukkan bahwa yang ditinggalkan hukumnya adalah wajibnya….. bahkan anjuran yang kuat tetap ada, terlebih lagi Beliau yang terus mengamalkannya hingga tahun wafatnya Beliau Shallallahu Alaihi wasallam dimana Beliau bersabda: "Jika aku masih hidup, niscaya aku akan berpuasa dihari kesembilan dan sepuluh", dan Beliau menganjurkan untuk berpuasa dan menghapuskan dosa setahun. Anjuran apalagi yang lebih kuat dari hal ini?

(fathul bari, Ibnu Hajar:4/247)

Oleh karenanya, tidak boleh meyakini wajibnya puasa dihari Asyura', dan tidak boleh pula meyakini wajib atau sunnahnya mengqadha' bagi yang tidak mengamalkan puasa dihari itu, dan tidak pula mengkhususkan puasa dihari kesembilan saja tanpa yang kesepuluh, sebagaimana tidak ada pula yang datang dari Nabi Shallallahu ALaihi Wasallam dan para sahabatnya dihari tersebut kecuali berpuasa.Tidak ada satupun yang disyariatkan dihari Asyura dari syi'ar-syi'ar hari raya, atau syi'ar kesedihan atau memberi keleluasaan kepada keluarga, tidak pula ada anjuran memukul-mukul dada, menarik rambut, merobek baju,dan menumpahkan darah. Sebab semua itu menyelisihi sunnah Nabi yang suci.

Berkata Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah:

"yang menjadi sandaran bagi kaum muslimin bahwa tidak shahih satupun hadits tentang hari Asyura', tidak pada siang harinya dan tidak pula malam harinya. Semua hadits yang meriwayatkan tentang hal tersebut, demikian pula tentang memberi keleluasaan kepada keluarga dihari Asyura' adalah palsu dan tidak shahih, tidak ada yang shahih kecuali berpuasa pada hari itu dan sehari sebelumnya, sebab itu merupakan hari yang Allah Azza wajalla menyelamatkan Nabi-Nya Musa Alaihis salam."

(tashih Ad-Du'a, Bakr Abu Zaid:109)

Aku berkata: dan telah shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi Wa Aalihi Wasallam bahwa Beliau bersabda:

«مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ»

"Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami sesuatu yang tidak berasal darinya maka hal itu tertolak."

(Muttafaq alaihi.Dikeluarkan Bukhari kitab: As-Shulhu bab: Idza Isthalahu 'ala shulhi jaur fash-shulhu mardud:2/5, Muslim kitab Al-Aqdhiyah (2/821,no:1718), dari hadits Aisyah radhiallahu anha)

Dan bersabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Aalihi Wasallam:

«إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ»

"jauhilah perkara-perkara baru,karena sesungguhnya setiap urusan baru adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat."

(Dikeluarkan Abu DAwud kitab As-sunnah bab: luzumus sunnah (4607),At-Tirmidzi kitab Al-Ilmu bab: ma jaa' fil akhdzi bis sunnah wajtinabil bida' (2676), Ahmad dalam musnad (4/126), dari hadits Irbadh bin Sariyah radhiallahu anhu. Hadits ini dishahihkan Ibnul Mulaqqin dalam Al-badr al-munir (9/582), Ibnu Hajar dalam muwafaqatul khubri al-khabar (1/136), Al-ALbani dalam Silsilah Ash-Shahihah (2735), dan dihasankan Al-Wadi'I dalam Ash-Shahih Al-Musnad (938).

Sangat disayangkan –demikian hakekatnya- dimana kaum muslimin tidak komitmen untuk mengikuti perkara yang disyariatka, dan mereka justru berlomba untuk menjadikan awal bulan Allah Muharram sebagai hari raya yang hubungannya dengan memasuki tahun baru hijriyyah sebagai pengganti tahun miladi (masehi), dan mereka menjadikannya sebagai wasilah untuk perayaan penanggalan tahunan dan menghidupkannya –sebagai bentuk pengagungan-dengan berbagai dzikir dan mengingat masa lalu, dengan khutbah, pelajaran, ceramah-ceramah, lantunan sya'ir-sya'ir, musik dan kegiatan pendidikan, saling bertukar harapan dan ucapan selamat, dan yang lainnya dari apa yang diada-adakan manusia yang menampakkan tanda-tanda tasyabbuh (menyerupai) ahli kitab.

Dari sisi lain,berbagai kejadian yang mengagumkan dan peristiwa mulia yang terkumpul dalam sirah Nabi Shallallahu Alaihi wasallam yang harum,seperti diutusnya Nabi Shallallahu Alaihi Wa Aalihi wasallam kepada manusia sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, diturunkannya wahyu kepada Beliau, mukjizat Al-Qur'an Al-Karim dan mukjizat lainnya, peristiwa malam isra' dan mi'raj, hijrahnya Beliau dari Makkah menuju Madinah, berbagai peristiwa peperangan dan pertempuran, penegakan daulah islam,dan mulianya bendera jihad fi sabilillah, dan tersebarnya dakwah ilallah diseluruh penjuru, dan yang lainnya dari berbagai kejadian yang agung yang terjadi pada zaman Beliau Shallallahu Alaihi Wa Aalihi wasallam, tidak terdapat sedikitpun dalam syariat adanya perayaan mengenang hijrahnya Nabi Shallallahu Alaihi Wa Aalihi wasallam pada awal bulan Allah Muharram pada setiap tahun baru sebagai hari raya atau hari libur bagi kaum muslimin dengan membiasakan hal itu dan mengulanginya. Sebab sebagaimana yang telah diketahui secara syar'I bahwa hari raya dan musim-musim keagamaan termasuk diantara permasalahan agama yang terbatas sifatnya, sedangkan ibadah dari sisi hukum adalah tauqifiyyah (yang tepaku kepada dalil) yang membutuhkan dalil disyariatkannya hal tersebut sebagaimana yang telah ditetapkan dalam kaedah syari'at, berdasarkan firman Allah Ta'ala:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ الأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ

"Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui."

(QS.Al-Jatsiyah:18)

Dan firman-Nya:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللهُ وَلَوْلاَ كَلِمَةُ الفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka Telah dibinasakan. dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih."

(QS.Asy-Syura:21)

Dan sabda RAsulullah Shallallahu Alaihi Wa Aalihi wasallam:

«مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»

"Barangsiapa yang mengamalkan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka hal itu tertolak."

(Dikeluarkan Muslim,kitab Al-Aqdhiyah (2/822, no:1718) dari hadits Aisyah radhiallahu anha)

Dan tidak ada yang menguatkan tentang perayaan awal bulan Muharram baik dari kitabullah ,dan juga sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Aalihi wasallam ,dan tidak pula dinukil dari para sahabat Beliau yang mulia,dan para tabi'in yang mengikuti mereka dengan kebaikan.

Dan tidak ada celah untuk menggolongkan berbagai perayaan tersebut sebagai bentuk pernyataan syukur kepada Allah Ta'ala,atau bentuk memuliakan Nabi-Nya Shallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam, sebab bersyukur kepada Allah bukan dengan cara ikut serta dalam membuat syariat dan hukum baru.Allah Ta'ala berfirman:

وَلاَ يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا

"Dan tidak ada seorangpun yang menyertainya dalam ketetapan hukumnya."

(Al-Kahfi:26)

Namun bersyukur kepada Allah adalah dengan taat dan beribadah hanya kepada-Nya sesuai syariat-Nya, dan mengangungkan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Aalihi wasallam dengan mengikuti sunnahnya, dan taat kepadanya terhadap perintah dan larangannya, dan menerima sepenuhnya terhadap hukum-hukumnya dan menjadikannya sebagai panutan dalam setiap amalan dan beritanya, tanpa berbuat bid'ah dalam agama.Allah Ta'ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللهَ وَاليَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا

"Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah."

(QS.Al-Ahzab:21)

Dan firman-Nya:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (QS.Ali Imran:31)

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah Ta'ala:ayat yang mulia ini menjadi hakim atas setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah sementara dia tidak berada diatas jalan Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam,maka sesungguhnya dia dusta pada pengakuannya sampai dia mengikuti syariat Muhammad dan agama Nabi dalam seluruh ucapan dan perbuatannya,sebagaimana yang telah shahih dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam bahwa Beliau bersabda:

"Barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak diatas perkara kami maka hal itu tertolak."

Berkata Al-Hasan Al-Bashri dan selainnya dari ulama salaf: ada sebagian kaum mengaku cinta kepada Allah, maka Allah menguji mereka dengan ayat ini."

(tafsir Al-Qur'an Al-Azhim,Ibnu Katsir:1/358)

Kemudian dari sisi ketiga, tidaklah tersamarkan bahwa hari pertama dari bulan Allah Muharram merupakan permulaan penanggalan tahunan islam dari kalender hijriyyah,sebagaimana yang telah ditetapkan penanggalannya oleh para sahabat yang mulia radhiallahu anhum berdasarkan ijma' pada masa pemerintahan Umar.

(Al-bidayah wan-nihayah, Ibnu Katsir :3/177)

Hal ini menyelisihi permulaan penanggalan tahunan oleh kaum Nashara dimana mereka membuat penanggalan tersebut dari kelahiran Al-Masih Alaihis Salaam.Namun hijrah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam bukan terjadi pada bulan Muharram, namun hijrah Beliau dari makkah menuju MAdinah terjadi pada awal-awal bulan Rabi'ul awal pada tahun ke-13 setelah diangkatnya Beliau Shallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam menjadi Rasul, dan Beliau tiba di Kuba pada malam ke-12 Rabi'ul awal pada hari senin, sebagaimana yang telah dijelaskan ahli hadits dan sejarah.

(lihat: Al-Bidayah wan-nihayah, Ibnu Katsir:3/177,190, Fushul min siratir rasul, Ibnu Katsir:80, mukhtashar siratir rasul, Muhammad bin Abdul Wahhab:2/166)

Dari sini jelaslah bahwa bulan Muharram bukanlah waktu hijrah Beliau Shallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam, namun niat kuat Beliau untuk hijrah dimulai pada bulan tersebut menurut pendapat yang paling kuat sebagaimana yang dijelaskan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, Beliau berkata:

"hanya saja mereka mengakhirkan (hijrah) dari Rabi'ul awal, sebab awal tekad untuk berhijrah terjadi pada bulan Muharram, dan bai'at terjadi pada pertengahan dzulhijjah yaitu pada saat kedatangan hijrah, maka hari pertama setelah bai'at dan bertekad untuk berhijrah pada awal Muharram sehingga sesuailah untuk dijadikan sebagai permulaan (penanggalan), ini adalah yang paling kuat dari yang aku ketahui berkenaan tentang awal permulaan dengan bulan Muharram."

(Fathul bari, Ibnu Hajar: 7/268)

Dari sisi yang keempat, merupakan bentuk menunaikan hak dan keadilan dimana kaum muslimin mengikuti Rasul Shallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam dan mengambil pelajaran dari sirahnya, dan mengambil faedah dari apa yang terjadi dizaman Beliau dari berbagai kejadian yang agung dan peristiwa yang mulia, lalu memetik pelajaran yang berharga dalam lingkaran sunnah,makna-maknanya terbentuk dalam suasana kejujuran yang akan membentuk perjalanan hidup seorang muslim, perangai dan akhlaknya, dengansinarnya yang bersumber dari pelita kenabian, tidak hanya membatasi perjalanan hidup Nabi Shallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam dan hanya mengambil pelajaran dari beberapa kejadian tertentu dalam perayaan dan khutbah-khutbah dihari-hari tertentu saja dalam setahun yang terlewatkan sebagai kenangan masa lalu semata, dan terus diulang-ulang setiap tahun seperti halnya hari raya. Alangkah cepatnya terlupakan apa yang masuk kedalam benak seseorang disaat hari-hari itu berlalu tanpa memperhatikan pengaruhnya dari sisi keimanan dan akhlak serta perangai kaum muslimin dan perjalanan hidupnya. Bahkan sebaliknya, engkau melihat kebanyakan mereka terdorong untuk pindah dari negeri islam menuju negeri kafir karena ingin tinggal bersama orang-orang kafir dan mendapatkan rezki sesuai keinginan mereka, lalu hidup dirumah-rumah mereka dengan kebebasan bak binatang ternak, lalu mencontoh kebiasaan, adat istiadat, dan gaya hidup mereka.Lalu dimana kalian melihat pengaruh keimanan dan amalan yang muncul dengan megenang hijrah Rasul Shallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam yang meninggalkan negeri syirik menuju negeri iman dan islam?.

Sesungguhnya perhatian besar salafus saleh dan yang mengikuti mereka dengan baik terhadap sejarah hidup Rasul pilihan Shallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam yang harum dan berbagai kejadian yang agung yang hanya didapatkan dengan mempelajarinya,dan mengambil pelajaran dan faedah darinya, dan semakin nampak manfaat dan nasehat darinya sepanjang tahun baik disiang maupun malam harinya, dan kandungannya akan memberi bentuk dalam perilaku dan perangainya sebagai bentuk menjadikan Beliau sebagai panutan, berjalan diatas petunjuknyadan menjadikannya sebagai suri tauladan dalam hal berdakwah kepada tauhid kepada-Nya, dan tauhid dalam hal mengikuti Rasul Shallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam, lalu mengamalkan apa yang diperintah oleh syariat dan meninggalkan apa saja yang dilarangnya, dengan mengamalkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam:

«المُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ»

"Orang yang berhijrah adalah yang meninggalkan apa yang Allah larang darinya."

(HR.Bukhari kitab; Al-Iman bab: man salimal muslimun min lisanihi wayadihi:1/9, dari hadits Abdullah bin Amr radhiallahu anhuma)

Dalam hadits lain:

«المُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ السَّيِّئَاتِ»

"Orang yang berhijrah adalah yang meninggalkan kesalahan-kesalahan."

(HR.Ibnu Hibban dalam shahihnya (196), Abd bin Humaid dalam musnadnya (338), Al-Adani dalam Al-Iman (26), Ibnu Mandah dalam Al-Iman (318), Al-Marwazi dalam ta'zhim qadaris shalaah (545), dari hadits Abdullah bin Amr radhiallahu anhuma. Dishahihkan Al-Albani dalam tahqiq kitab Al-Iman, karya Ibnu Taimiyyah (3)).

Berjalan sesuai dengan syariat terhadap apa yang dicintai dan diridhai-Nya,dan apa-apa yang dimurkai, dibenci dan tidak diridhainya dari berbagai ucapan, perbuatan, keyakinan, dan orang-orang tertentu sebagaimana yang telah diketahui dalam keyakinan al-wala' wal bara', yang merupakan konsekwensi dua kalimat syahadat dan merupakan salah satu syaratnya. Allah Ta'ala berfirman :

لاَّ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً

"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali Karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka."

(QS.Ali Imran:28)

Dan firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."

(QS.Al-Maidah:51)

Dan firman-Nya:

لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

"Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau Saudara-saudara ataupun keluarga mereka."

(QS.Al-Mujadilah:22)

Demikian pula ayat-ayat lainnya.

Hijrah batin yang menyangkut amalAn hati itulah yang sejalan dengan kehidupan seorang muslim dan tidak terlepas darinya,lalu setelah itu hijrah badaniyah yang nampak yang sudah mencakup hijrah qalbiyah tersebut. Yaitu berpindahnya seorang muslim dari negeri syirik menuju negeri islam yang hukumnya wajib bagi yang tidak punya kemampuan untuk menampakkan syi'ar-syi'ar islam di negeri kafir tersebut, dan tidak mampu menegakkan al-wala' wal bara' (sikap loyal terhadap kaum mukminin dan berlepas diri dari orang-orang kafir)., dan dia tidak tergolong orang yang lemah yang tidak mampu berhijrah atau yang menghalanginya untuk berhijrah adalah kondisi politik atau geografisnya.

Keduanya merupakan bentuk berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam:

«فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ»

"barangsiapa yang hijrahnya menuju Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan rasul-Nya."

(HR.Bukhari kitab bad'ul wahyi bab: kaefa kaana bad'ul wahyi ilaa Rasulillah Shallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam (1/3), Muslim kitabul Imarah (2/920, no:1907), dari hadits Umar bin Khatthab radhiallahu anhu)

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: hijrah ada dua macam:

- Hijrah menuju Allah dengan mencari, mencintai dan menyembah-Nya, bertawakkal hanya kepada-Nya, kembali, berserah diri sepenuhnya, takut, berharap, dan menghadap kepada-Nya, dan jujur dalam berlindung kepada-Nya dan merasa butuh kepada-Nya disetiap waktu.

- Hijrah menuju Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam dalam dalam setiap gerak dan diamnya yang lahir maupun batin, dengan cara menyesuaikan dengan syariatnya yang menunjukkan kecintaan kepada Allah dan keridhaan-Nya, dan Allah tidak akan menerima dari siapapun kecuali dengannya."

(Thariqul hijratain, Ibnul Qayyim, hal:20)

Semua ilmu ada disisi Allah Ta'ala, dan akhir ucapan kami adalah Alhamdulillah rabbil 'alamin, Shalawat dan salam kepada Muhammad, keluarga dan para sahabatnya dan saudara-saudaranya hingga hari kiamat.


Al-Jazaair, tanggal 22 dzulhijjah 1430 H, yang sesuai dengan

9 Desember 2009 M.

Sumber: http://www.salafybpp.com

Diterjemahkan oleh : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal dari http://sahab.net/forums/showthread.php?t=374121

0 komentar:

Posting Komentar