Tinggalkan Susu Formula, Kembali ke ASI

بسم الله الرحمن الرحم


Polemik susu formula berbakteri bermula ketika Institut Pertanian Bogor pada Februari 2008 memuat di website mereka 
tentang adanya beberapa merk susu formula yang tercemar Enterobacter Sakazakii. Meskipun sangat jarang, infeksi oleh bakteri ini dapat mengakibatkan penyakit yang sangat berbahaya hingga dapat mengancam jiwa, di antaranya adalah neonatal meningitis (infeksi selaput otak pada bayi), hidrosefalus (kepala besar karena cairan otak berlebihan), sepsis (infeksi berat) , dan necrotizing enterocolitis(kerusakan berat saluran cerna).

Hingga saat ini, masyarakat masih menuntut pemerintah untuk mengumumkan nama-nama merk susu formula tersebut. Promosi produk susu formula memang sangat gencar melalui media-media, bahkan dengan cara “memaksa” ibu -  ibu yang melahirkan di rumah sakit untuk menggunakan produk mereka (cara ini sebenarnya dilarang melalui Keputusan Menteri Kesehatan No.237/Menkes/SK/IV/1997).
Sebenarnya, para Ibu tidak perlu terlalu cemas apabila mereka tidak mengkonsumsi susu formula dan hanya memberikan ASI (Air Susu Ibu) kepada anak mereka. Namun, walau ASI terbukti memiliki sumber gizi terlengkap yang tidak tergantikan oleh susu formula sekalipun,  sayangnya di kehidupan modern sekarang ini, dengan banyaknya akifitas ibu-ibu di luar rumah dalam berkarier, membuat mereka sering tidak sempat untuk menyusui anak mereka.
Padahal, Allah berfirman :
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (QS Al Baqarah: 233)
Pembaca yang dirahmati Allah…
Sedemikian besarnya perhatian Islam terhadap tumbuh kembang anak, hingga masalah menyusui pun diatur dalam Islam. Menyusui bukan hanya memberi asupan gizi kepada anak-anak. Tetapi juga sebagai sarana berkomunikasi antara ibu dan anak. Tangisan bayi adalah wujud komunikasi antara ia dan ibunya yang sudah selayaknya diperhatikan. Karena bayi belum bisa berbicara. Dia baru saja mengenal dunia ini. Satu-satunya yang ia kenal hanyalah ibunya yang selama ini telah mengandungnya. sehingga sudah selayaknya kebutuhannya dicukup dengan maksimal oleh Ibunya sendiri.

Pemberian ASI secara tidak langsung dengan cara memerah ASI dari payudara lalu dimasukkan ke botol susu, siap diminumkan ke anak juga tidak tepat. Cara seperti ini menyebabkan tidak adanya komunikasi dengan antara ibu dan anak. Anak juga tidak bisa menambah permintaan ASI, karena sudah “dijatah” oleh ibunya. Padahal komunikasi melalui dekapan kasih sayang sang Ibu, merupakan hal yang amat dibutuhkan oleh jiwa sang buah hati yang masih amat rapuh. Ibu yang shalihah, dengan rambatan kasih sayangnya akan membentuk akhlak yang baik bagi sang buah hati.
Ibnu Qoyyim mengatakan,
“Perhatian yang serius pada bayi setelah kelahiran amat ditekankan, dan tingkat keawasan pada mereka harus tinggi. Karena ranting pohon dan cabang-cabangnya ketika masih melekat kuat pada batang utamanya, dan terkait dengannya, maka angin tidak mampu menggoyang dan mencabutnya. Tetapi ketika dipisahkan dan ditanam di tempat lain, maka bahaya mengancamnya dan angin yang lembut sekalipun akhirnya mampu mencabutnya” (Tuhfatul Maudud Fi Ahkamil Maulud)
Namun, tidak dipungkiri juga banyak terjadi kasus dimana seorang ibu, ASInya tidak bisa keluar secara maksimal. Bisa karena kurangnya nutrisi si Ibu sendiri, ataupun kondisi fisik yang lemah. Namun yang paling banyak biasanya karena faktor emosional. Walaupun kondisi tubuh si Ibu bagus, apabila ia tidak siap secara mental untuk menyusui, maka ASI nya tidak bisa keluar dengan lancar. Banyak-banyaklah membaca referensi mengenai ASI, agar merasa mantap bahwa menyusui, memberikan ASI secara langsung akan memberikan hasil yang terbaik untuk sang buah hati.
Lalu bagaimana jika jumlah air susunya sedikit, namun kebutuhan si buah hati cukup besar? Misal apabila anak terlahir kembar, yang tentunya kebutuhan ASI menjadi berlipat-lipat. Sejatinya, produksi air susu itu berjalan terus. Apabila habis, dia akan terus memproduksi lagi. Yang menjadi masalah sebenarnya adalah rasa lelah yang dialami oleh sang Ibu karena harus menyusui bayinya terus. Disinilah peran suami untuk selalu mendukung, menyemangati, dan membantu baik moral maupun materiil, agar istri bisa menyusui anaknya secara maksimal.
Namun, apabila semua usaha sudah dilakukan, namun tetap air susunya tidak cukup, atau bahkan tidak keluar, maka boleh mengkonsumsi susu formula. Namun yang perlu ditekankan, bahwa susu formula bukanlah yang utama namun hanya sebagai pengganti ASI.
Dari berbagai pemaparan diatas, maka tidak ada lagi alasan bagi seorang Ibu, untuk menolak menyusui anaknya secara langsung.Semoga Allah memudahkan kita untuk memberikan yang terbaik bagi putra dan putri kita, agar mereka tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas.
Wallahu alam bish showwab

0 komentar:

Posting Komentar